Pages

Hai~!
Ini fanfic kedua Hyuu di fandom Ini, fandom termegah (?) di FFn tercinta ini.
Kali ini Hyuu datang dengan pairing SaiIno
Ok, lansung aja!
Selamat menikmati~! (emang makanan? ==") xDD

Disclaimer : Naruto bukan milik Hyuu! Kalau milik Hyuu, Hinata bakal jadi PlayGirl! Noooo~! #abaikan
Pemeran : Ino dan Sai sebagai pemeran utama, dan beberapa pemeran PEMBANTU #plak
Genre : Entahlah, karena Hyuu nggak tau jadinya Hyuu taroh di genre Romance aja deh! *nekat* #plak
Warning : Super duper OOC, Typo(s) bertebaran di sana sini
Summary : Sai membuat Ino marah! Akhirnya Sai memutuskan meminta maaf lewat bunga, namun...
Flowers, From 'Albino' Just For 'Jelek'
.
.
.

.
.
.
Di Konoha Senior High School, seorang gadis berambut pirang tengah berlari menyusuri salah satu lorong di gedung itu. Rambut panjangnya yang diikat ekor kuda nampak meliuk-liuk di udara. Peluh nampak bergulir dari pelipisnya. Nafasnya memburu layaknya tengah dikejar sesuatu. Namun bukannya berhenti untuk istirahat sesaat, kakinya malah semakin cepat berlari. Kaki itu baru berhenti tepat di depan sebuah pintu. Dirinya menarik nafas panjang, kemudian ia menggeser pintu itu. Ia memasuki ruangan yang ternyata adalah sebuah kelas. Dan..
"Heee, bangun kesiangan, Ino? Beruntung hari ini Kakashi-sensei yang mengajar jam pertama di kelas kita, jadinya kau tak mendapat hukuman. Sungguh menyebalkan tak bisa melihatmu di hukum," ujar Sakura pelan. Nampaknya Sakura telah menunggu kedatangan Ino sedari tadi, buktinya Sakura tengah bersandar di samping pintu kelas seperti tengah menunggu sesuatu.
Ino, nama gadis itu, tersenyum sinis. "Waduh, Sakura. Pagi ini kau telah menggosok dahimu ya? Nampak seperti cermin yang memantulkan sinar matahari nih. Silau," sahut Ino sembari merapikan diri.
Sakura yang mendengar perkataan Ino pun terlihat marah. Otot-otot di dahinya menonjol. "Apa katamu, gendut?" gigi-gigi Sakura bergemertak.
Senyuman Ino semakin lebar. "Sepertinya telingamu mulai tuli ya, Sakura? Sudah berapa lama kau tidak membersihkan telingamu?" sindir Ino lagi.
Mulut Sakura berdecak kesal. Niatan awal ingin menyindir Ino, eh, malah akhirnya ia yang disindir Ino. Sungguh menyebalkan, batin Sakura.
Ino berjalan melewati Sakura. Dagunya terangkat menandakan dirinya puas akan kemenangan kecil yang ia raih. Namun, hal itu tak bertahan lama. Secara tiba-tiba, Sakura menyerang Ino. Tangan mungil Sakura menjambak rambut Ino, membuat Ino mengerang kesakitan. Teman-teman satu kelas mereka yang awalnya tak menyadari aksi sindir-menyindir antara Sakura-Ino, kini mulai memandang aksi brutal yang kini mereka lakukan.
Tas sekolah Ino yang tadi ada di genggaman tangannya, kini telah hilang entah ke mana. Ino balas menjambak rambut pink Sakura yang pendek. Sakura semakin keras menarik rambut Ino. Ke duanya memekik kesakitan. Tak ada seorangpun teman mereka yang berniat untuk melerai. Salah satu dari mereka malah sedang asyik memakan popcorn yang entah ia dapat dari mana.
"Kenapa mereka berkelahi?" tanya murid lelaki berambut pantat ayam.
"Entahlah, Teme. Sakura dan Ino kan memang sering seperti itu," sahut lelaki berambut kuning.
Ketua kelas mereka, si rambut nanas, terlihat kesal akan keributan yang Sakura dan Ino ciptakan. "Mendokusai," ia mengucapkan trademark-nya yang terkenal.
Namun, kericuhan itu akhirnya terpecahkan karena seseorang. Kakashi –sensei yang notabene adalah wali kelas mereka. Kakashi-sensei datang dengan seorang murid lelaki yang tampak tak familiar. Murid-murid yang beberapa waktu yang lalu bergerombol di sekitar Sakura dan Ino pun mulai kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Tak terkecuali Sakura dan Ino.
Sakura dengan sengaja menyenggol bahu kiri Ino dengan keras. "Itai!" teriak Ino spontan. Sakura menyeringai. Ino memukulkan tas sekolahnya ke kepala Sakura. Namun sayang, pukulan itu tak mengenai target.
"Sakura, Ino. Kembali ke tempat kalian," perintah Kakashi.
Ino dan Sakura saling melemparkan deathglare terbaik mereka, sembari berjalan menuju tempat duduknya. Ino menghempaskan pantatnya ke kursi dengan hati dongkol.
"Oke anak-anak, hari ini kalian mendapatkan teman baru. Silahkan perkenalkan dirimu, Sai." Ujar Kakashi-sensei sembari tersenyum, walaupun senyumannya tak terlihat karena masker yang ia kenakan.
Kini tatapan anak-anak sekelas terpaku pada lelaki yang berada di samping Kakashi. Lelaki itu bertubuh tinggi dan tegap. Rambutnya hitam pekat. Cukup tampan dan mirip dengan Sasuke si rambut pantat ayam sekilas. Namun ia akan nampak sedikit sempurna jika kulitnya tidak sepucat zombie. Sungguh kulit yang sangat pucat, terlihat seperti ia tak pernah bermandikan cahaya mentari.
"Hai, aku Sai. Yoroshiku na," hanya lima kata simple yang keluar dari mulutnya. Tapi hal itu telah dapat memicu rasa penasaran murid-murid di kelas itu.
"Kenapa kau pindah ke sini?"
"Asalmu dari mana?"
"Kakkoi!"
"Kau mirip Sasuke! Apa kau berhubungan darah dengannya?"
"Apa kau sudah punya pacar?"
Berbagai pertanyaan dan pernyataan terlontar dari banyak murid. Mereka berlomba menarik perhatian sang murid baru, terutama kaum hawa. Tapi beberapa orang nampak tak tertarik dengan murid baru itu.
Ino memandang Sasuke dan Sai bergantian. "Memang mirip," bisik Ino pada dirinya sendiri.
"Huh, dia tak ada apa-apanya denganku. Hn," ujar Sasuke sembari menyisir rambutnya dengan jemari-jemari tangannya.
Sakura yang duduk tepat di samping Sasuke pun mengalihkan pandangannya pada cowok berotak encer itu. "Apa dia saudaramu, Sasuke?" tanya Sakura penuh nada penasaran.
Naruto yang berada di depan Sasuke dan Sakura pun membalikkan badannya menghadap sepasang sejoli itu. "Jika si murid baru adalah saudara Sasuke, pasti dia sombong dan songo seperti Sasuke. Darah Sasuke kan darah kotor," cibir Naruto sembari melemparkan cengiran khasnya.
Baik Sasuke maupun Sakura pun melemparkan deathglare mereka pada Naruto. Shikamaru yang berada di dekat mereka bertiga hanya bisa berdecak kesal . "Mendokusai," gerutunya.
Ino mengalihkan perhatiannya ke depan kelas. Sai melemparkan senyumannya kepada seisi kelas, dan di mata Ino, senyuman itu nampak licik.
"Oke, cukup anak-anak," perintah Kakashi-sensei membuat kelas kembali tenang. "Sai, silahkan duduk di kursimu. Di baris belakang samping Ino," perintah Kakashi-sensei pada Sai. Sai menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Sai berjalan menuju tempat duduknya. Ino menompang dagunya. Bosan, itu yang sedang dirasakannya.
Sai menghempaskan tubuhnya di tempat duduknya, matanya melirik Ino yang ada di sampingnya. Ino menyadarinya.
"Apa?" tanya Ino.
"Ah, salam kenal. Aku Sai," Sai mengulurkan tangannya. Namun bukan jabat tangan yang tercipta, tapi kecuekan yang diterimanya.
Ino membuang muka. "Aku sudah tau," ujar Ino. Bukannya sikap Ino dingin. Tapi karena pertengkaran kecil dengan Sakura tadi, itu membuat Ino sedikit bete. Dan hal itu membuat Ino sedikit ketus.
Sai tersenyum lagi. Ditariknya tangannya yang tadi diacuhkan oleh Ino. "Rubah," bisik Ino yang tak sengaja melihat Sai yang sedang tersenyum.
"Apa?" kini berganti Sai yang bertanya.
Ino kembali membuang muka. "Bukan apa-apa."
Hening. Tak ada yang berbicara. Hanya suara Kakashi-sensei yang sedang menjelaskan di depan kelas yang terdengar. Namun suasana itu tiba-tiba musnah karena tiga patah kata yang keluar dari mulut Sai kemudian.
"Kamu jelek ya," bisik Sai sembari membaca sebuah buku kecil, sepertinya buku saku. Namun buku itu bukan buku pelajaran yang sedang berlangsung. Di cover buku itu tertulis dengan tulisan tebal "Tips-tips Berteman".
Sontak saja Ino yang mendengar hal itu langsung membelalak kaget, ditolehkan kepalanya ke arah Sai yang masih asyik membaca buku. "Apa maksudmu berkata seperti itu, cowok albino?" teriak Ino histeris. Tak tanggung-tanggung, tangan kecil Ino ikut menggebrak meja sembari berdiri untuk mendramatiskan suasana.
Sai mengangkat kepalanya untuk menatap Ino yang sekarang benar-benar terlihat marah. "Lihatlah dirimu. Rambutmu acak-acakan. Pakaianmu tak rapi. Sungguh jelek untuk di lihat," ujar Sai pelan, sungguh pelan hingga Ino saja yang dapat mendengarnya.
Bagai tersambar petir saat itu juga. Ino pun tak segan-segan melayangkan tangannya untuk menampar pipi Sai yang putih pucat hingga berbekas telapak tangan berwarna kemerahan di pipi itu. Bukannya meminta maaf atas apa yang telah ia perbuat, Ino malah berlari pergi meninggalkan kelas. Meninggalkan Sai yang tengah terpaku. Dan meninggalkan seisi kelas yang tengah kaget akan kejadian yang tak terduga itu.
"Apa aku salah berkata seperti itu?" tanya Sai pada dirinya sendiri. Sai menatap sebaris kalimat di buku yang tergeletak terbuka di mejanya. "Berkatalah dengan jujur pada calon temanmu."
.
.
.
.

Esok harinya.
Ino berangkat ke sekolah terlalu pagi hari ini. Jarum jam baru menunjukkan pukul 06:45, tapi Ino sudah berada di sekolah. Terlalu cepat 45 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai.
Ino melangkahkan kakinya dengan riang. Pagi ini moodnya telah membaik. Senyum manis terukir di wajahnya. Dari mulutnya keluar dendangan sebuah lagu. Terlihat benar-benar sedang berada di moodnya yang terbaik, saat ini.
Ino menggeser pintu kelasnya. Kelas itu masih kosong, hanya ada tiga orang lelaki di kelas itu saat ini. Ino berjalan menuju tempat duduknya. Baru saat berada di tempat duduknya lah ia baru menyadari ada sesuatu di laci mejanya. Ino mengeluarkan benda itu. Setangkai bunga mawar hitam. Cukup bagus.
Kening Ino berkerut. "Sakura?"tanya Ino pada dirinya sendiri. Kemudian ia melirik ketempat duduk Sakura. Kosong, Sakura belum datang. Lagipula Sakura tak mungkin mengirim bunga ke padanya. Sakura tak mungkin melakukan hal yang dianggapnya licik. Lalu siapa? Batin Ino bertanya-tanya.
Ino melirik ketiga teman sekelasnya. "Chouji, Lee, Kiba. Kalian tahu siapa yang mendekati mejaku pagi ini?" tanya Ino pada mereka.
Lelaki gemuk yang tengah memakan snack, Chouji menghentikan aktifitasnya sejenak. "Hmmm, aku tak tahu Ino."
"Aku tahu. Itu Sasuke!" sahut Kiba lantang.
Ino kembali mengerutkan keningnya. "Sasuke?" tanya Ino memastikan.
"Iya, Sasuke!" ujar Kiba percaya diri.
"Aku belum melihat Sasuke hari ini, Lee. Aku rasa Sasuke pun belum ke kelas pagi ini," sahut Chouji sambil mengunyah snacknya. Kening Ino semakin berkerut.
"Bukannya si murid baru?" tanya Lee.
"Sai?" tanya Kiba.
"Iya. Sai kan mirip Sasuke, mungkin tadi kau salah mengenalinya, Kiba." Tutur Lee.
Benar juga kata Lee. Mungkin si cowok albino itu yang mengirim bunga ini. Tak mungkin Sasuke, Sasuke kan tak ada masalah denganku. Pikir Ino. Ino melirik tempat duduk Sai dan mendapati sebuah tas tengah tergolek di atas meja Sai. Tuh kan, sorak hati Ino karena telah mengetahui sang pelaku.
"Kalian tahu kemana si cowok albino itu?" tanya Ino lagi.
Ketiga lelaki itu saling berpandang-pandangan. "Tak tahu," jawab mereka bersamaan.
Ino berdecak sebal. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari Sai. Tak lupa ia juga membawa mawar hitam tadi.
.
.
.
.

"Hei, cowok albino!" teriak Ino memanggil Sai.
Kini Ino tengah berada di atas sekolah. Ino telah mengubek-ubek seisi sekolah. Hingga toilet laki-laki pun ia masuki! Untung saat itu sekolah masih sepi, dan toilet laki-laki juga masih kosong. Jadi tidak ada yang memandang Ino dengan tatapan aneh.
30 menit telah berlalu sejak Ino menemukan mawar hitam di atas mejanya. Kini tinggal 15 menit lagi sebelum bel berdering. Dan beruntung Ino segera menemukan Sai. Namun Ino tidak bisa dibilang beruntung. Karena seluruh ruang di KSHS telah ia periksa satu-satu, kecuali ruang kepala sekolah tentunya.
Sai yang berdiri memunggungi Ino membalikkan badannya hingga berhadapan dengan Ino yang berdiri 10 meter darinya. Sai memasukkan buku saku kedalam saku celananya yang tadi ia baca.
"Pagi, Ino. " Sapa Sai sembari tersenyum. "Ada apa?" tambah Sai.
Ino berjalan mendekati Sai. Tangannya mengacungkan setangkai mawar hitam yang sedari tadi ia bawa.
"Apa kau yang menaruh mawar ini di laci mejaku?" tanya Ino memastikan.
Lagi-lagi Sai tersenyum. "Iya. Bagus, kan? Kau suka?" tanya Sai yang sepertinya, senang.
Ino berhennti tepat 2 meter di depan Sai. Giginya bergemeretakan. "Apa maksudmu mengirimiku mawar hitam ini? Kau ingin menantangku?" tanya Ino berapi-api. Mood Ino yang tadi sempat membaik kini mulai kembali memburuk.
"Aku hanya ingin minta maaf karena ucapanku kemarin sepertinya telah melukaimu," jawab Sai.
"Kau bercanda? Kau tahu apa arti mawar hitam?" Sai menggeleng. "Jangan membodohiku! Kau pasti tau artinya, cowok albino. Mawar hitam artinya mati!" Sai terbelalak kaget. "Aku tak akan pernah senang menerima bunga seperti ini!" Ino melemparkan mawar hitam itu ke lantai, dan diinjaknya mahkota mawar hitam itu dengan penuh kemarahan. "Dan seperti perkataanmu, kau telah melukaiku dengan kata-katamu kemarin. Dan dua hal yang telah kau perbuat ini membuatku yakin untuk membencimu, cowok albino!" setelah mengucapkan itu Ino beranjak pergi meninggalkan Sai sendirian di atap.
"Aku.. salah lagi?" tanya Sai entah pada siapa.
Dan kemudian bel tanda pelajaran dimulai pun berkumadang.
.
.
.
.

Sejak kejadian seminggu lalu, Ino mulai menghindari Sai. Walaupun hal itu tidak terlalu berhasil, karena bagaimanapun juga ia duduk di samping (sebangku) Sai. Dan Kakashi-sensei yang sepertinya menyadari perilaku Ino, malah memberi tugas kelompok yang harus dikerjakan dengan teman sebangku. Dan hal itu membuat Ino berkali-kali mengutuk guru wali kelasnya.
Tapi yang membuat Ino sedikit lega, saat Ino kabur dari kewajibannya untuk bekerja sama mengerjakan tugas. Sai dengan sukarela mengerjakan tugas itu sendiri dan mengakui bahwa itu hasil kerjasamanya dengan Ino. Setidaknya Ino masih mendapat nilailah.
Sore ini sepulang sekolah, Ino mendapati sebuah buket kecil bunga Hyacinth ungu berada di loker sepatu miliknya. Ino melirik ke sana ke mari mencari orang yang telah menaruh bunga itu. Namun nihil, tak ada siapa-siapa di sana. Maklum saja, bel pulang sekolah telah berdering satu setengah jam yang lalu. Didekapnya bunga yang mirip bunga sedap malam.
Akhirnya Ino memutuskan untuk membawa pulang buket bunga itu. Baru beberapa langkah Ino meninggalkan gedung sekolahnya, ia baru menyadari sesuatu.
"Tunggu, buket bunga? Hyacinth ungu? Kalau tidak salah, bunga ini berarti 'maaf'. Jangan-jangan.." Ino membalikkan badannya, mencoba melirik atap gedung sekolah tanpa ketahuan. Tepat seperti dugaannya, Sai tengah menatapnya dan tersenyum padanya. Ino pun dengan terburu-buru pergi meninggalkan tempat itu secepat mungkin.
Dengan pipi yang memerah, tentunya.
.
.
.
.
.

Sejak saat itu, entah mengapa Ino mulai mendapati buket kecil bunga ataupun hanya setangkai saja. Mulai dari bunga Calla yang memiliki arti 'cantik', bunga Magnolia yang memiliki arti 'manis dan cantik', dan berbagai bunga lain yang memiliki arti yang hampir sama. Hingga akhirnya membuat kamar Ino penuh wangi bunga. Dan hal itu cukup membuat Ayah Ino penasaran, apalagi ia tak mendapati bunga-bunga di tokonya tak berkurang secara misterius. Jadi yang pastinya putrinya tidak mengambilnya dari barang dagangan keluarga mereka.
Walaupun Ino awalnya tak menyukai mendapatkan berbagai bunga itu. Namun akhirnya ia mulai menyukainya. Dan ia pun tahu siapa yang mengirimkannya, walaupun di setiap bunga yang ia terima ataupun temukan tak ada identitas si pengirim. Ino yakin, hanya satu orang yang bisa, atau lebih tepatnya, sudi mengirim berbagai macam bunga itu padanya.
Cowok albino. Begitulah sebutannya pada lelaki itu. Lelaki yang sempat ia benci, namun kini mulai berubah menjadi rasa yang lebih positif.
Ino merapikan bunga-bunga yang ada di toko keluarganya, sembari mengumbar senyuman manis pada bunga-bunga itu. Tanpa ia sadari, lelaki yang tengah ia pikirkan tengah memperhatikannya dari luar toko bunga miliknya.
.
.
.
.

Seperti biasa, Ino selalu melakukan ritualnya secara rutin di sore hari. Ritual menjaga toko bunga keluarganya. Ino sedang memeriksa bunga-bunga kesayangannya ketika lelaki itu datang.
Ino menoleh ke arah pintu dan mendapati Sai tengah berdiri tak jauh dari sana. Tengah tersenyum memandangnya. Mau tak mau pipi Ino memerah. Senyuman terukir di wajahnya.
Sai beranjak dari tempatnya. Bukannya menghampiri Ino, ia malah berjalan menjauhinya. Melewati baris demi baris rak-rak berisi beraneka ragam bunga. Ino yang notabene sang penjual pun mendekati Sai.
"Cari bunga apa?" tanya Ino lembut. Sungguh berbeda 180 derajat dari apa yang dulu Ino ucapkan di hari pertama ia bertemu dengan Sai.
Bukannya menjawab pertanyaan Ino, Sai malah mengacuhkannya. Akhirnya Ino malah mengekor kemana pun Sai tuju. Pertama di deretan bunga mawar, kemudian bunga tulip. Hingga akhirnya di deretan rangkaian bunga beserta vasnya. Baru di deretan inilah Sai berhenti.
Ino yang penasaran pun mengamati gerak-gerik Sai. Sai mengambil sebuah vas berisi bunga berwarna ungu.
"Kau ingin membeli bunga Lilac?" tanya Ino. Dan lagi-lagi pertanyaan Ino tak digubris oleh Sai.
Ino yang mulai dongkol karena diabaikan pun berniat meninggalkan pembeli yang tuli itu. Tapi, saat akan melangkah pergi, lengan Ino di tarik Sai. Ino memandang Sai. Sai kembali tersenyum, senyuman yang mirip rubah, kata Ino dulu.
"Untukmu," ujar Sai pelan, hampir seperti bisikan.
Ino menatap Sai tak percaya. Ino menunjuk dirinya sendiri. "Aku?" tanya Ino memastikan. Sai mengangguk.
"Bunga ini tak murah loh!" ujar Ino mencoba menggoda.
"Aku tak tanya harga," sahut Sai.
"Apa kau tau arti bunga ini?" tanya Ino sembari menggigit bibir bawahnya.
Lagi-lagi Sai menganggukkan kepalanya. Kontan muka Ino memerah kembali. "Benar buat aku?" tanya Ino untuk kesekian kalinya.
"Kalau kau tak mau ya sudah."
"Eh eh, mau kok!" ujar Ino tergagap. Ino merebut vas itu. "Tapi kamu yang bayar loh!" tambah Ino mengingatkan. Sai tersenyum.
Tapi, kok dikasih Lilac sih? Lilac kan artinya cinta pertama. Jadi Sai cuma mau kasih tahu kalau aku cinta pertama dia? Tanya Ino dalam hatinya.
Tiba-tiba Sai menyelipkan setangkai mawar merah di antara bunga-bunga Lilac itu. Ino ternganga. Mawar merah?
Lagi-lagi Sai tersenyum. "Jawabannya?"
Ino sadar, kini Sai sedang menyatakan perasaannya! Dan Sai ingin segera mendapatkan jawaban dari Ino.
Ino berlari meninggalkan Sai sendiri. Beberapa saat kemudian Ino kembali.
Ino tersenyum. Di ulurkannya setangkai bunga Endelweiss ke pada Sai. Sai menerimanya. Lalu di keluarkan sebuah buku kecil, bukan buku saku yang biasa ia baca, tapi buku dengan judul 'Bahasa Bunga'. Sai membolak-balik halaman demi halaman. Ino yang melihatnya terkikik geli. Ternyata selama ini Sai mengiriminya bunga dengan panduan buku itu. Sai benar-benar cinta padanya!
Raut muka Sai nampak sedikit sedih. "Nggak salah bunga?" tanya Sai memastikan. Ino menggeleng. "Ohh."
Lagi-lagi Ino menyodorkan setangkai bunga. Bunga yang bagus tapi memiliki arti yang tak bagus. Mawar hitam.
Sai terbelalak menatap bunga itu. Sai memandang mawar hitam, Ino, mawar hitam, dan Ino.
"Mati?"
Ino tersenyum. "Jika arti sebenarnya adalah mati. Jika mawar hitam adalah bentuk kebencian. Tapi untukku bukan itu arti sebenarnya. Bunga ini khusus aku berikan untukmu, Sai. Ini bunga pertama yang pernah kau berikan padaku." Untuk pertama kalinya Ino memanggil Sai dengan namanya. "'Gomen'," satu kata yang membuat Sai semakin terpuruk. "'Suki yo—suka kamu!'..." Dua kata yang sukses mengembalikan senyuman Sai.
"Hontou ni?"
"Albino, anata no koto ga daisuki—aku sayang sekali sama kamu. Apa perlu aku meneriakkannya?" tanya Ino.
Sai terkekeh. "Boleh saja," tantang Sai.
"Kapan-kapan ya."
"Curang!"
"Biarin, weeee."
"Ino jelek!"
"Cowok albino, nyebelin!"
"Aku bukan albino!"
"Aku juga nggak jelek kok."
"Jelek nggak, gemuk iya."
"Aaah, kenapa kau tercemari oleh perkataan Sakura!"
"Ino gemuk~"
"Aku nggak gemuk, baka albino!"
"Tapi kelebihan lemak?"
"Nggak. Yaudah aku nggak bakal teriakin 'ALBINO, ANATA NO KOTO GA DAISUKI!'!"
"Dan kau telah meneriakkan kata itu, Ino."
"Waaaaa, yadaaaaaa—tidaaaak!"
"Khukhukhu."
.
.
.
.
Owari

Haaaa, maaf jika banyak yang di skip *nunduk-nunduk sampai kejedot lantai*
Dan Gomen karena endingnya aneh *pundung*
Arigatou buat yang sudah read, and hontou ni arigatou untuk yang sudi untuk memberi review
.
.
REVIEW, please?
.
.
.
Postingan ini khusus aku buat untuk 'my twin' or my rival.

 Hai Ren. Apa kabar? Ah, maaf ya aku tidak bisa memenuhi janjiku padamu. Um, mungkin kamu tak tahu janji seperti apa, karena itu janji yang aku tanamkan sendiri pada diriku beberapa bulan yang lalu di Blog ini.

Maaf ya, aku tidak bisa masuk di sekolah yang sama denganmu. Di sekolah itu. Smanda.

Beberapa bulan yang lalu aku telah melupakan janji itu. Maaf ya. Padahal aku ingin sekali satu sekolah lagi denganmu. Mengalami suasana seperti dulu lagi.

Aku kangen kamu Ren. Aitaii na.. Ren.

Ren, aku harap kita masih dapat bertemu. Walaupun kita tak berada di sekolah yang sama, hal itu bukan halangan kan?

Ren, aku harap kau tak melupakanku. Jika kau telah melupakanku, awas saja ya! *asah golok*

Ren, telah 3 tahun terakhir aku bertemu denganmu. Kapan aku akan bisa bertemu denganmu lagi?

Ren, aitaii na.. Aitaii..

Ren, kau tau? Aku sangat kaget saat mengetahui namamu ada di antara nama orang-orang yang tak aku kenal yang mendaftar di sekolah itu. Aku terlebih kaget akan nilai yang kau capai. Sepertinya kau mulai menjadi 'lebih' dari aku ya?

Kau tahu Ren? Kau akan satu sekolah dengan seseorang yang sukai sekarang. Aku harap kau tak akan berteman dengannya. Haha, kenapa? Karena aku dengar kamu playboy. Aku tak ingin orang yang aku sukai menjadi playboy sepertimu. xP

Joudan da yo! Becanda! Aku harap kamu bisa berteman baik dengannya Ren. Sepertinya walaupun aku tak mengharapkan hal itu, kau tetap akan berteman dengannya. Aku tau sifatmu memang seperti itu Ren.

Ren, jika kita bertemu. Apa kita akan seperti dulu? Kembali mencekcokkan nama kita? Ah, tapi nama panggilanku sudah berubah Ren. Dan penampilanku juga telah berubah. Mungkinkan kau masih mengenali ku?

Ren.. Aitaii na.. Aitaii..

Sekali lagi, gomen ne. Aku ingin sekali masuk ke sekolah itu.. ingin sekali..

Gomen ne, Ren..

Gomen..

Jya, Ren.. 'my twin'.. :)
Lohaaa~!!

Sudah 20 hari setelah saya 'comeback' di blog ini. Dan, telah sedikit banyak hal yang terjadi dalam 20 hari ini.
O-oh! Ternyata kemarin saya wisuda tidak memakai kebaya! Hal itu sedikit membuat saya kecewa, karena oh karena, saya sedang ingin memakai kebaya untuk kedua kalinya~.

Yatta! Saya diterima oleh sekolah RSBI itu~!! Tapi, salah satu orang terdekat saya di SMP, si pujaan hati, dan satu teman saya di kursus tidak di terima di sekolah itu seperti saya. Cukup sedih saat saya mengetahui hal itu. Bagaimana tidak? Setengah dari jumlah teman satu SMP saya di terima di sekolah itu, tapi tiga orang yang saya sukai malah tidak diterima. Saya ingin marah, tapi pada siapa? Saya tidak ingin seperti teman saya yang melemparkan kesalahan pada pihak beruntung hanya karena teman-temannya tidak diterima di sekolah itu. Saya jelas merasa tersindir akan perkataan teman saya itu, dia bilang "Orang pintar kalah oleh orang beruntung". Well, menurut saya memang benar. Tapi jangan salahkan pihak beruntung dong. Mereka harus mengaca dulu, apa prepare mereka sebelumnya itu maksimal? Padahal kesalahan sendiri berawal pada diri sendiri.

Oke balik lagi, dan teman satu kursus saya pun sepertinya memutuskan untuk mendaftar sekolah di kota tetangga. Sedangkan teman terdekat saya, saya tak tahu kabarnya. Dan sang pujaan hati sudah di terima di sekolah yang dulu sempat menjadi sekolah impian saya. Sekolah tempat kakak saya dulu sekolah. Sekolah yang dulu ada di belakang rumah saya. Ugh, saya ingin sekolah di sana juga. Tapi itu tidak bisa. Kenapa? Karena nilai ujian saya rendah, sangat rendah. Dan hal itu tidak dapat menunjang saya untuk dapat masuk ke sekolah itu. Oh, sucks.

Ummm, saya terserang penyakit gawat. Penyakit bosan. Rapot, SKHU, dan Ijazah telah ada di tangan, jadi tidak ada alasan lagi bagi saya dan teman-teman untuk pergi ke sekolah (SMP). Hal itu cukup membuat saya sedih. Kenapa? Karena itu artinya saya sudah tak bisa bertemu dengan sang pujaan hati *ceilah*. Dan hal itu membuat saya terserang penyakit menyebalkan itu. Saya tidak bisa bertemu dengan teman-teman saya, yang notabene adalah sumber hiburan saya yang terakhir. Jadinya saya menganggur di rumah. Tanpa uang saku, tentunya.

Liburan tapi tidak terasa seperti liburan. Saya ingin pergi ke suatu tempat. Ke oasis saya. Tentu saja tempat itu adalah, bookstore. Kekeke.

Kemarin-kemarin, tante saya sempat ingin mengajak saya ke rumahnya. Tapi terlambat, saya baru berbicara dengannya saat beliau sudah berada di pulau tempat rumahnya berada. Oh, sucks (lagi). Beliau menawarkan agar saya berangkat sendiri. Saya sih oke oke aja, kan saya sendirian cuma waktu di pesawat. Tapi, yang saya bingungin itu tiket pesawatnya. Keluarga lagi krisis keuangan bok *halah*. Dan tante saya tak kunjung memberikan penjelasan lagi. Haduh, keburu liburanku abis nih, tinggal 2 minggu lagi liburan saya berakhir.
Haaaah, sepertinya memang seperti inilah takdir liburan saya. Mana nggak ketemu si pujaan hati, Ichi *ceilah*. Bosennya minta ampun.Gah... ==a

Ok, just until here guys. Thanks for read my post yang nggak penting banget ini. LOL.

See ya!
Hai~ Hyu datang lagi dengan fanfic ke dua Hyuu di fandom FT ini
Mari ramaikan fandom FT!
Natsu : Lu! *peluk Author*
Lucy : eh, itu Hyuu bukan aku kale~
Natsu : eh? nggak apa-apa deh, Hyuu juga cakep kayak Lucy
Hyuu : ah, makaseh~ *kissu*
Lucy : Hyuu baka!
PLAK!
Hyuu : *megang pipi* oh, no! *lebay kumat*
ok, dari pada menonton drama nggak jelas ini, kita langsung saja~
Selamat menikmati~! (emang makanan? ==") xDD

Disclaimer : Fairy Tail bukan milik Hyuu, kalau milik Hyuu, dari awal Natsu bakal langsung fall in love sama Lucy!
Pemeran : Lucy dan Natsu dan beberapa pemeran pembantu lainnya #plak
Genre : Entahlah, karena Hyuu nggak tau jadinya Hyuu taroh di genre Family deh! *nekat* #plak
Warning : Super duper OOC
Summary : Natsu membuat Lucy marah kerena Natsu telah melakukan sesuatu pada Lucy. Apa itu? Dan apa yang akan diperbuat oleh Natsu? Cekidot~
Gomen ne, Lu
.
.
.

Di sebuah gedung milik Fairy Tail, nampak seorang gadis muda berambut kuning tengah menyandarkan kepalanya di atas sebuah meja. Kedua lengannya mengapit kepalanya hingga wajahnya tak terlihat. Seorang gadis yang tampak lebih tua darinya menghampiri meja itu dengan baki berisi secangkir teh hangat.
"Lucy, ini teh herbal, rekomendasi dariku." Ujar gadis berambut putih itu sembari meletakkan cangkir yang dibawanya tadi. Mira, nama panggilan gadis berambut panjang itu.
Gadis berbadan montok itu mengangkat kepalanya, menyadari seseorang telah menyebut namanya. Mukanya nampak kuyu, tak bersemangat. Menyadari mood Lucy sedang tak begitu baik, Mira pun duduk di hadapannya.
"Ada apa Lucy? Wajahmu terlihat kusut. Apa ada masalah?" tanya Mira yang telah siap untuk mendengar keluh kesah Lucy.
Lucy menompang dagunya. Mulutnya mengerucut. "Ya, aku punya masalah! Taihen! Masalah gawat! Uangku menipis!" keluh Lucy dengan nada kesal.
Mira tersenyum. "Kenapa Lucy tidak mengambil pekerjaan saja?"
Lucy melirik Mira. "Apa Mira-chan pernah melihatku mengambil pekerjaan sendiri? Jawabannya tidak! Aku selalu mengambil pekerjaan dengan, minimal seorang partner! Tapi partnerku satu-satunya malah hilang mengambil pekerjaan untuk dirinya sendiri. Tanpa diriku!" ujar Lucy berapi-api. "Nampaknya dia telah melupakanku, partnernya." Tambahnya.
"Kenapa tidak mengambil pekerjaan dengan Gray atau Erza?" tanya Mira kembali.
Lucy terdiam. Sebuah gambaran terlintas di pikiran Lucy. Lucy mengernyitkan dahinya.
"Itu bukan ide yang bagus Mira-chan," sahut Lucy pelan.
Mira tersenyum. "Kenapa?"
"Karena jika aku melakukan pekerjaan berdua dengan Erza. Nampaknya akan menjadi sebuah neraka bagiku," Lucy menelan ludah membayangkan Erza memerintahnya jika ia dan Erza melakukan sebuah pekerjaan HANYA berdua. Tentu saja, di beberapa pekerjaan yang lalu, Erza selalu dapat membuat Lucy berteriak histeris akan kelakuan Erza. "Lagipula Erza sekarang sedang melakukan pekerjaan sendiri," timpal Lucy.
"Ah, benar! Umm, lalu kalau dengan Gray? Kenapa?" tanya Mira untuk kesekian kalinya hari itu.
Lucy kembali merengut. "Kau ingin aku mati seketika, Mira-chan? Jika aku melakukan pekerjaan BERDUA dengan Gray, bisa-bisa aku dijemput malaikat kematian seketika yang bernama Juvia!" seru Lucy histeris membayangkan Juvia yang tengah marah padanya.
Lucy selalu mencamkan pikiran agar tak terlalu dekat dengan Gray yang notabene adalah orang yang disukai oleh Juvia, teman satu guild-nya. Dan Juvia adalah orang yang super protektif terhadap Gray. Setiap wanita atau gadis yang ada di sekitar Gray pasti akan ia teror satu persatu. Tapi yang mengherankannya, Juvia terlalu tak menyukai Lucy yang dianggapnya rival dalam mendapatkan Gray. Padahal Lucy tertarik pada Gray saja tidak. Mungkin Juvia berpikiran seperti itu karena Lucy seringkali satu tim dengan Gray. Padahal kan di tim itu juga masih ada gadis lain, yaitu Erza.
"Kenapa tidak melakukannya bertiga dengan Juvia dan Gray saja kalau begitu?" usul Mira kembali.
"Itu tidak ada bedanya," wajah Lucy bertambah muram dari sebelumnya.
Jika mereka bertiga pergi bersama, pasti Juvia akan memelototi Lucy di manapun dan kapanpun. Dan kecemburuan Juvia akan semakin menjadi-jadi.
Lucy menyesap teh yang tadi diberikan oleh Mira. Dengan itu, mood Lucy nampak sedikit membaik.
"Sudahlah, biar aku tunggu saja si baka Natsu." Putus Lucy sembari tersenyum kecil. Mira tersenyum cerah mendapati Lucy tak semuram tadi.
"Aku pergi dulu ya, Mira-chan." Pamit Lucy sembari beranjak.
"Kemana?" Mira bangkit dari posisi duduknya.
Lucy menepuk-nepuk tas berukuran sedang yang sedari tadi tergantung di badannya. Ia tersenyum simpul. Mira tersenyum maklum.
"Nanti siang datang lagi ya Lucy!"
"Oke! Jya, Mira-chan!"
.
.
.

Lucy sudah hampir satu jam duduk beralaskan rerumputan di taman. Jemari tangannya yang lentik menari-nari di atas kertas-kertas yang awalnya putih polos, namun dalam beberapa menit telah penuh terisi tulisan kecil nan rapi. Di sekitarnya nampak berserakan kertas-kertas yang telah berisikan tulisan Lucy. Lucy terlalu serius hingga ia tak menyadari sedari tadi ada seseorang yang telah duduk di sampingnya dan memperhatikannya.
"Sedang apa, Lu?" cowok berambut pink itu akhirnya menyapa Lucy, membuat Lucy menghentikan aktifitasnya dan menoleh.
"NATSU?" jerit Lucy tertahan. Matanya melotot menandakan ia terkejut akan kehadiran Natsu.
Natsu tersenyum lebar. "Yo, Lucy."
"Bu, bukannya kamu sedang mengerjakan pekerjaan?" tanya Lucy tergagap. Lucy terdiam sejenak. "Sendirian?" tambah Lucy sembari menekan kata sendirian.
Natsu menghempaskan tubuhnya di rerumputan. "Sudah selesai," Natsu melemparkan cengiran khasnya. "Kenapa sih, Lu? Kamu marah karena tak aku ajak?" tanya Natsu polos.
Lucy terdiam. "Kalau aku bilang iya, pasti Natsu akan segera mengajakku mengambil pekerjaan. Tapi sekarang aku sedang tidak mood, coba dia mengajakku 1 jam yang lalu." Batin Lucy.
"Tidak," jawab Lucy singkat sembari mengumpulkan kertas-kertasnya yang berserakan.
"Ooh," hanya itu yang keluar dari mulut Natsu.
Natsu mengamati Lucy. "Hey Lu, kamu belum menjawab pertanyaanku. Sedang apa kamu, Lu?" tanya Natsu kembali. Lucy bukannya menjawabnya, ia malah asyik menyusun kertas-kertas itu sesuai nomor.
"Lu?" panggil Natsu. Lucy mengabaikannya. "Lu?" panggil Natsu lagi. Lucy hanya menganggap lalu panggilan Natsu. "Lu? Kamu marah ya?" tanya Natsu untuk kesekian kalinya. Tapi lagi-lagi pertanyaan dan panggilan itu tak digubris Lucy.
Natsu menggembungkan pipinya, menandakan ia mulai kesal akan kelakuan Lucy. Natsu mencoba menarik kertas-kertas yang ada di tangan Lucy. Kontan Lucy ikutan menarik untuk mempertahankan ketas-kertas yang tak bersalah itu. Sontak saja, aksi tarik menarik pun tak terhindari. Antara Natsu yang ingin membaca dan menarik perhatian Lucy. Sedangkan Lucy yang ingin mempertahankan kertas-kertasnya.
Dalam waktu beberapa menit mereka saling tarik menarik kertas-kertas itu sekuat tenaga. Hingga akhirnya hal itu terjadi. Sekumpulan kertas itu robek menjadi dua. Membuat kedua pelaku tersebut jatuh terduduk. Keduanya membeku memandang beberapa kertas yang tengah betebangan yang tadi terlepas dari genggaman Lucy dan Natsu.
Natsu terdiam. Matanya melototi kertas-kertas yang berserakan itu. Seakan mencoba memerintah mereka untuk kembali merekat seperti beberapa saat yang lalu. Natsu tahu, kumpulan kertas yang sebagian ada di tangannya itu sangat lah penting bagi Lucy. Lucy tak pernah membiarkan seorangpun membacanya. Yah, kecuali Gray yang dulu tanpa sepengetahuan Lucy, sempat membacanya.
Natsu memberanikan diri mencoba melirik Lucy. Lucy, duduk membeku menatap buah tangannya. Hasil karyanya selama beberapa hari. Telah banyak waktu ia curahkan untuk kertas-kertas itu. Telah banyak aktifitas yang ia korbankan untuk kertas-kertas itu. Tak terhitung pengorbanannya untuk itu. Hanya untuk kertas-kertas itu. Kertas-kertas yang berisikan novelnya. Novel pertama karyanya.
Kini, tepat di depan matanya. Karyanya hancur. Karenanya. Karena tangan yang juga telah menciptakannya. "Sungguh menggelikan," desis Lucy marah.
Serta-merta Lucy menyambar tas miliknya, sang saksi bisu dalam kejadian itu. Lucy berlari dengan mata berkaca-kaca. Meninggalkan sebagian barangnya yang tak sempat ia ambil. Meninggalkan kertas-kertasnya. Dan juga, meninggalkan Natsu sendirian...
.
.
.

Lucy meringkuk seperti kucing di kasurnya. Terdengar isakan kecil yang keluar dari bibir mungilnya. Matanya terpejam, tapi bulir-bulir air matanya menyelinap keluar melewati kelopak matanya. Keristal bening itu jatuh bergulir di pipinya yang halus.
Kamar Lucy gelap gulita. Hanya seberkas cahaya dari luarlah satu-satunya cahaya yang menyinari kamar itu. Sang empunya kamar tak ada niatan sedikitpun untuk beranjak dari kasurnya hanya untuk menyalakan penerangan. Mungkin kegelapan dapat meredamkan suara tangisannya, pikirnya.
Seberkas cahaya tiba-tiba muncul di kamar itu. Lalu tiba-tiba muncul seorang lelaki di tempat itu. Cahaya itu menghilang dan akhirnya membuat kamar itu kembali gelap. Lelaki berambut oranye itu berjalan mendekati kasur Lucy. Tak sepatah kata sapaanpun keluar dari mulutnya, seakan lelaki itu tahu bahwa Lucy saat ini sangatlah rapuh.
Lelaki bersetelan jas itu berhenti tepat di samping kasur Lucy. Tangannya mengelus-elus rambut Lucy lembut.
Lucy menghentikan tangisannya sejenak. Ia bangkit dari posisi meringkuknya. Kepalanya menoleh ke arah lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lembut pada Lucy, seakan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Lucy memeluk lelaki itu dengan erat, seakan tak ingin lelaki itu hilang. "Loki. Loki. Loki! LOKI!" tangis Lucy pun kembali pecah. Loki, nama lelaki itu, kembali mengelus-elus rambut Lucy sembari tersenyum.
"Huaaaaaaa...!"
.
.
.

Matahari telah lama tenggelam. Burung hantu telah bosan berkicau. Dan teman-teman satu guild-nya pun telah terlelap. Tapi Natsu masih terjaga. Tak ada tanda-tanda ia ingin berbaring untuk tidur walau untuk sejenak. Padahal ia belum tidur semenit pun sejak pulang dari pekerjaannya yang terakhir.
Jari-jari Natsu bergerak kesana kemari di atas sebuah meja. Matanya sesekali menyipit menatap kertas-kertas yang ada di hadapannya. Gunting dan selotip sesekali diambilnya. Peluh pun menghiasi pelipisnya.
Natsu menyusun kertas-kertas itu sesuai bagiannya. Mencoba menyatukannya kembali seperti sebelumnya.
Tepat ketika jam berdenting tiga kali, barulah ia jatuh tertidur. Bukan di atas kasurnya yang empuk. Tapi di atas meja tempatnya bergulat dengan berlembar-lembar kertas selama enam jam ini.
.
.
.

Lucy duduk terdiam. Di depannya ada secangkir teh lemon kesukaannya, tapi hanya ia sentuh seujung jaripun olehnya. Matanya nampak kosong. Tak ada senyuman yang terukir di wajahnya. Mira yang tadi sempat menyapanya pun hanya ia tanggapi dengan lalu. Tak seperti biasanya Lucy seperti ini.
"Lucy, ada masalah lagi?" tanya Mira lembut.
Lucy tersadar dari lamunannya. Sebuah senyum palsu terukir. "Tidak," jawab Lucy seceria mungkin.
Tanpa sengaja Lucy melihat sosok Levi yang tengah bercengkrama dengan partnernya. Levi adalah gadis seumuran Lucy yang notabene adalah teman satu guild dengan Lucy di Fairy Tail. Lucy sempat berjanji dengan Levi untuk membuat Levi menjadi pembaca pertama bagi novel yang tengah Lucy buat. Tapi karena kejadian kemarin, nampaknya Lucy membuat Levi menunggu lama lagi.
Senyuman Lucy mengendor ketika Levy melambaikan tangan ke arah Lucy. Lucy tersenyum kecut.
Tiba-tiba seseorang datang menghampiri Lucy. Menepuk bahu Lucy dengan ringan. Cengiran khasnya hilang entah ke mana. Natsu.
Lucy menoleh. Senyumannya kini musnah seketika.
"Lu.." panggil Natsu lirih.
Mata Lucy kembali berkaca-kaca, siap menumpahkan air mata kapan saja. Lucy bangkit dari tempat duduknya. Dalam beberapa detik Lucy telah hilang dari pandangan. Mira menatap Natsu meminta penjelasan dari perilaku Lucy. Tapi Natsu malah pergi meninggalkan guild, untuk mencari Lucy...
.
.
.

Langit telah berwarna oranye, menandakan hari telah sore. Di langit nampak segerombolan burung yang tengah terbang sembari berkaok-kaok. Sedangkan di suatu tempat di bawah langit itu, nampak Natsu yang tengah berlarian ke sana ke mari mencari Lucy sedari tadi pagi.
Natsu telah mencari di taman, tapi Lucy tak ada di sana. Kembali ke guild, namun Lucy pun tak ada di sana. Ia malah disandera oleh Mira untuk diinterogasi olehnya seputar perilaku Lucy. Natsu juga sempat menengok ke hutan tapi hasilnya pun nihil.
Kini Natsu telah pasrah. Ia pasrahkan pada kedua kakinya untuk menemukan Lucy. Kakinya berlari membawanya ke suatu tempat tanpa di komando oleh otaknya. Seakan kaki-kaki itu tau ke mana tempat yang harus di tuju.
Natsu berlari. Berlari dan berlari. Keringat bercucuran dari dahinya, punggungnya, dan badannya. Tapi tak sedikitpun rasa lelah yang ia rasakan. Tangan kirinya menggenggam kantong kertas semakin erat.
Tanpa ia sadari, kaki itu telah berhenti tepat di depan pintu kamar Lucy. Dengan sedikit ragu-ragu, Natsu membuka pintu itu.
Sepi.
Natsu mengedarkan pandangannya sekeliling kamar Lucy. Hingga akhirnya mata itu berhenti tepat mengarah ke arah kasur Lucy.
Kasur itu tak kosong. Nampak Lucy terbari di kasur itu. Tidur? Ya, Lucy tengah tertidur.
Namun Lucy tak sendirian. Di samping Lucy ada Loki. Cowok berambut oranye itu tengah mengelus-elus rambut Lucy. Menyadari ada seseorang yang datang, Loki pun mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar itu. Loki tersenyum.
"Natsu, lama tak jumpa." Sapa Loki ceria.
Natsu menampilkan cengirannya. "Hai, Loki."
"Mencari Lucy? Dia sedang tidur," sahut Loki sembari menunjuk Lucy dengan jempolnya. "Sepertinya aku hanya mengganggu di sini. Jadi, sampai jumpa Natsu." Muncul secercah cahaya, dan Loki pun menghilang.
Kamar itu kembali hening. Sepi.
Natsu melangkahkan kakinya mendekati Lucy. Satu langkah. Dua langkah. Lima langkah. Tujuh langkah.
Tepat tiga langkah lagi Natsu berada di samping kasur itu, Lucy menggeliat. Natsu menghentikan langkahnya.
Tubuh Lucy kembali diam tak bergerak. Namun kelopak mata Lucy telah terbuka. Bola mata cokelat itu pun mengarah tepat ke bola mata berwarna hitam pekat milik Natsu. Dua detik kemudian mata itu terbelalak.
"NATSU?" jerit Lucy histeris. Kontan Lucy menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal miliknya. Natsu tersenyum mendengar jeritan itu dan melihat tingkah laku Lucy.
"Hai, Lu." Sapa Natsu lembut.
Lucy mengabaikan sapaan Natsu. "Sedang apa kau di sini, Natsu?" tanya Lucy tajam.
Natsu tertawa. "Sepertinya, Lucy tak marah," batin Natsu.
"Kenapa kau tertawa? Mengejekku?" tanya Lucy salah paham.
Natsu tak menghiraukan pertanyaan Lucy. Namun ia menyodorkan kantong kertas yang sedari tadi ada di genggamannya. "Ini."
Lucy menerimanya. "Apa ini?" tanya Lucy sembari membuka kantong itu. Lucy melongokkan kepalanya mengintip isi kantong kertas. Kertas. Bukan sekedar kertas. Itu adalah kertas-kertas milik Lucy yang kemarin sobek menjadi dua. Namun kertas-kertas itu telah menyatu, disatukan oleh selotip.
"Gomen ne, Lu."
Lucy menatap Natsu. Wajah Lucy memerah. Karena malu.
"Itu bukan salahmu Natsu. Ini salahku sendiri. Aku yang telah membuatnya sobek. Dan aku malah marah tak jelas," ujar Lucy kalem.
"Bukan! Itu salahku, Lu. Andai aku tak memaksa, pasti kertas itu tak akan sobek. Maaf."
Lucy menggelengkan kepalanya sekuat tenaga. "Sudahlah, jangan salahkan dirimu."
Mereka berdua terdiam. Hening. Hingga secara tak sengaja mereka saling tatap, hingga akhirnya tawa mereka pecah.
"Sifatmu itu sungguh kekanak-kanakan, Lu!"
"Enak saja, itu kan gara-gara kamu!"
"Loh? Bukannya tadi Lucy bilang 'jangan salahkan dirimu'? jadi aku tak salah kan?"
"Aaah! Natsu bodoh!"
"Hahahaha."
"Bodoh! Ahahaha."
"Gomen ne, Lu!"
"Baka, Natsu!"
.
.
.
OWARI

Hiruma : YA-HA!
Hyuu : eh lho? kok Hiruma dari EyeShield 21 nyasar ke sini? *bingung*
Hiruma : apa kau, Author sialan!
Hyuu : *menciut*
Hiruma : Reader sialan! kirim review ya!
Hyuu : Jangan panggil Reader-sama dengan sebutan 'sialan' baka Hiruma! *teriak pake toa*
Hiruma : *nodongin senjata api*
Hyuu : ugh, ok! jangan lupa review ya! jya~ *kabur*
REVIEW, please?
Hai~! Hyuu Author baru disini, ini fic pertama Hyuu di fandom Fairy Tail, dan fic oneshot kedua Hyuu
Tujuan Hyuu bikin fic ini karena Hyuu pengen buat Natsu dan Lucy punya hubungan khusus! x)
Dan juga karena Hyuu sebel, kok disini banyak fic NaLu yang dibikin mati sih? kan kasihan T^T
Hyuu masih newbie (di dunia per-Fairy Tail-an (?) dan per-fanfiction-an (?)), jadi mohon bantuannya senpai-senpai ya!
Mari kita ramaikan fandom Fairy Tail! x)))
Ok, langsung saja~
Selamat Menikmati! (emang makanan? -") xDD

Disclaimer : Fairy Tail bukan milik Hyuu, kalau milik Hyuu, dari awal Natsu bakal langsung fall in love sama Lucy!
Pemeran : Natsu, Lucy, Happy, Erza, dan Gray.
Genre : Niatnya romance, tapi kerasa nggak ya? =/
Warning : Super duper OOC
Summary : "Karenamu aku dapat menjalani hari-hari seperti ini. Kau sangat berharga bagiku.."
Arigatou

"Natsu, kau tak apa-apa?" Lucy memandang Natsu dengan tatapan bersalah.
"Aku tidak apa-apa, Luce. Kau sendiri?" Natsu duduk bersender pada tebing yang menjulang tinggi.
"Aku baik-baik saja karena kau telah melindungiku Natsu, terima kasih."
"Sekarang, bagaimana caranya kita bertiga dapat kembali keatas?" tanya Happy yang sempat terabaikan oleh Natsu dan Lucy.
Mereka bertiga memandang keatas tebing. Tebing itu sangat tinggi dan curam. Sangat susah dilompati ataupun dipanjat dengan tangan kosong. Satu-satunya cara adalah dengan...
"Terbang!" seru mereka bertiga bersamaan.
"Baiklah. Happy, bawa Luce bersamamu. Aku akan keatas dengan apiku," ujar Natsu sembari memukul tangannya yang saling tergenggam.
"Aye!"
Dengan segera Happy menggenggam kerah baju Lucy dan bersiap-siap terbang meninggalkan tempat itu.
"Eh?"
"Ada apa Natsu?" Lucy memandang Natsu yang tampak kaget.
"Natsu?" Happy melepas genggamannya dan terbang didepan muka Natsu.
"Sihirku.. Api-ku tidak keluar," jawab Natsu pelan.
"EH?"
"Kenapa?" Lucy berteriak, hampir histeris.
"Aku tak tahu.."
"Mungkin, karena Natsu telah mengeluarkan terlalu banyak energi tadi, sehingga Natsu sementara ini tidak bisa mengeluarkan api?" cetus Happy sedikit ragu akan perkataannya sendiri.
"Mungkin juga sih. Lalu, bagaimana sekarang?" tanya Lucy kembali.
"Luce, kau dan Happy segera kembali keatas, dan segera panggil Erza dan Gray, mungkin mereka dapat membantu," sahut Natsu.
"Lalu, bagaimana denganmu, Natsu?" tanya Lucy lagi.
"Aku akan berusaha memanjat tebing ini," ujar Natsu memutuskan.
Natsu berusaha berdiri, tetapi ia jatuh terduduk kembali. Ada apa?
"Sepertinya, kakimu terkilir Natsu! Dengan keadaan seperti ini, kau tidak bisa memanjat tebing itu. Ah, walaupun keadaanmu seperti biasa pun kau tak mungkin bisa memanjat tebing ini!" seru Lucy yang dengan terang-terangan tidak mengijinkan Natsu memanjat tebing itu.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Happy cemas.
"Tenang saja, Happy bawa Luce keatas seperti yang aku katakan tadi."
"Tidak! Lalu bagaimana denganmu Natsu?" Lucy jelas menolak ide itu.
"Seperti yang aku bilang Luce, Aku akan memanjat tebing ini. Tenang, aku pasti bisa memanjat tebing ini. Tidak seberapa tinggi kok," Natsu memamerkan cengiran khasnya.
"Tidak boleh!" teriak Lucy untuk kesekian kalinya.
"Lalu, kita harus bagaimana, Lu?" tanya Natsu meminta saran.
Lucy menggigit ibu jarinya, dahinya berkerut tanda ia tengah berpikir keras. Tiba-tiba Lucy menjentikkan jarinya.
"Happy, bawa Natsu keatas. Aku akan menunggu disini disaat kalian mencari Erza dan Gray," usul Lucy.
Happy memandang Natsu meminta persetujuan.
"Tidak, tidak!" seru Natsu dan Happy bersamaan.
"Kau itu wanita, Lu. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian disini. Bagaimanapun aku ini lelaki, jadi aku tidak boleh membiarkanmu. Jadi, sebaiknya kau keatas bersama Happy," perkataan Natsu membuat Lucy tersentuh.
"Memang sih. Tapi, tidak! Aku yang telah menyebabkan kita bertiga terjatuh disini. Jadi, seharusnya aku yang menerima akibatnya. Tapi malah kau, Natsu yang terluka. Kau yang harus keatas dengan Happy," jelas Lucy.
Happy memandang Natsu dan Lucy bergantian. Sedikit sebal karena sedari tadi merasa diabaikan oleh kedua temannya itu.
"Jadi, siapa yang seharusnya aku bawa keatas?" Happy memecah keheningan yang sempat tercipta.
"Luce," seru Natsu.
"Aku bilang tidak ya tidak!" Lucy tetap bersikukuh tidak akan menerima saran itu.
"Baiklah kalau begitu. Happy pergilah sendiri dan cepat temukan Erza dan Gray," Natsu menghela nafas, cengirannya kembali tertera diwajahnya.
"Aye!" Happy segera terbang meninggalkan tempat itu, menciptakan keheningan yang sedikit canggung.
"Nee, Natsu. Aku benar-benar minta maaf. Ini semua gara-gara aku. Karena aku bertindak ceroboh saat kau tengah melawan gorila jelek diatas tadi, aku malah terpeleset dan jatuh kesini. Tapi kau spontan melindungiku. Tapi karena itu, kau terluka. Aku benar-benar minta maaf, dan aku sangat berterima kasih kepadamu Natsu. Entah apa yang terjadi jika tak ada dirimu Natsu," perkataan Lucy memecahkan keheningan yang aneh itu.
"Hehe, kau serius sekali Lu! Tenang saja, aku akan selalu menjagamu Lu! Dan aku baik-baik saja, tidak usah cemas. Lihat," Natsu memamerkan otot lengannya yang yaah, cukup bagus juga untuk diperlihatkan. Dan lagi-lagi Natsu tersenyum lebar seperti tidak ada yang terjadi. Mungkin inilah kelebihan dari kebodohan dan kepolosan Natsu, sehingga dapat tersenyum disituasi apa saja. Lucy tersenyum kecil, pipinya nampak memerah, menambah manis dirinya walaupun tubuh Lucy sekarang kusut karena tadi ia sempat terguling ditanah. Tapi, sebagaimanapun keadaan Lucy, siapa sih yang tidak setuju jika Lucy sekarang tampak manis jika seperti itu?
"Lagipula, kita kan teman Luce. Jadi sudah seharusnya aku menolongmu kan jika kau dalam kesusahan? Hahaha,"
Oke, hati Lucy Heartfillia retak saat mendengarnya.
"Teman..? Hehehe," Lucy tertawa hambar.
"Iya, teman!" Natsu lagi-lagi tersenyum lebar.
Natsu, inilah akibat kebodohan dan kepolosanmu, kau jadi tidak peka! Oh tidak, hati Lucy sekarang sudah hancur berkeping-keping karena ucapanmu.
"Natsu, aku pikir-pikir kau itu adalah segalanya bagiku," secara langka, wajah Natsu nampak bersemburat merah. Hanya sedetik. "Awal kita bertemu, kau menolongku dari salamander palsu, walaupun aku tau kau pasti secara tak sadarmenolongku," Lucy tersenyum mengingat pertemuannya dengan Natsu saat di kota pelabuhan, Hargeon.
"Karenamu, aku dapat menjadi penyihir Fairy Tail. Karenamu, aku dapat mengenal teman-teman seperti Mira-chan, Lucy-chan, dan yang lainnya. Karenamu aku dapat menemukan arti keluarga yang sebenarnya. Karenamu rumahku menjadi kacau, tapi aku senang. Kau membuatku jengkel, senang, dan bahagia. Setiap tingkah lakumu dapat membuatku senang. Kau selalu membantuku. Kau selalu menolongku. Kau selalu ada untukku. Kau selalu... aku tak tahu lagi. Pokoknya, hari-hariku sangat berwarna karenamu. Karenamu aku dapat menjalani hari-hari seperti ini. Kau sangat berharga bagiku. Natsu."
Lucy tersenyum sangat manis pada Natsu. Lagi-lagi Natsu merona. Lucy tersenyum jahil.
"Arigatou, Natsu."
Lucy mengecup pipi sebelah kanan Natsu. Pipi Lucy nampak sedikit merona, dan Lucy menyadari hal itu. Natsu kaget akan perkataan dan kelakuan Lucy tadi. Natsu ingin menyampaikan sejuta pertanyaan, protes, dan kata-kata lainnya. Tapi sepertinya hal itu harus ditundanya dulu.
"Natsu! Lucy!" terdengar teriakan Erza dan Gray diatas.
Lucy mendongak menatap tepi tebing diatas. Nampak Happy yang tengah digendong Erza. Gray dengan cekatan segera membuat tangga dari sihir es miliknya. Erza, Happy, dan Gray segera berlari menuruni tangga menghampiri Natsu dan Lucy.
"Minna!" Lucy berlari memeluk Erza, beruntung Erza tak sedang memakai baju armor-nya. Tapi sungguh tak beruntung nasib Happy, ia tengah terjepit diantara tubuh Lucy dan Erza.
Gray menghampiri Natsu.
"Hahaha, masa jatuh kejurang saja kau tak bisa balik lagi Natsu? Kau sungguh lemah. Hahaha," Gray menyombongkan diri.
"Eh? Tumben kau tak membalas Natsu?" Gray memperdekat jaraknya dengan Natsu, dan Gray dapat melihat wajah Natsu yang merona memerah, sungguh memerah seperti kepiting rebus!
"EH? KAU KENAPA NATSU?"
Natsu tertunduk diam. Gray berusaha melihat wajah Natsu sekali lagi. Erza bingung, tanda tanya besar nampak diwajahnya. Happy pingsan. Lucy, tersenyum.
おわり

Bagaimana? Bagaimana? masih garing kah? Masih tidak terasa kah ?
Maaf ya, Natsu disini OOC banget *pundung*
Bagi yang telah membaca fic ini sampai selesai, Hyuu makasih! apalagi kalau mau kasih review juga :P
Ok, sampai jumpa di fic lainnya! x)))
REVIEW please?

fic Naruto - Flowers, From 'Albino' Just For 'Jelek'

Hai~!
Ini fanfic kedua Hyuu di fandom Ini, fandom termegah (?) di FFn tercinta ini.
Kali ini Hyuu datang dengan pairing SaiIno
Ok, lansung aja!
Selamat menikmati~! (emang makanan? ==") xDD


Disclaimer : Naruto bukan milik Hyuu! Kalau milik Hyuu, Hinata bakal jadi PlayGirl! Noooo~! #abaikan
Pemeran : Ino dan Sai sebagai pemeran utama, dan beberapa pemeran PEMBANTU #plak
Genre : Entahlah, karena Hyuu nggak tau jadinya Hyuu taroh di genre Romance aja deh! *nekat* #plak
Warning : Super duper OOC, Typo(s) bertebaran di sana sini
Summary : Sai membuat Ino marah! Akhirnya Sai memutuskan meminta maaf lewat bunga, namun...
Flowers, From 'Albino' Just For 'Jelek'
.
.
.

.
.
.
Di Konoha Senior High School, seorang gadis berambut pirang tengah berlari menyusuri salah satu lorong di gedung itu. Rambut panjangnya yang diikat ekor kuda nampak meliuk-liuk di udara. Peluh nampak bergulir dari pelipisnya. Nafasnya memburu layaknya tengah dikejar sesuatu. Namun bukannya berhenti untuk istirahat sesaat, kakinya malah semakin cepat berlari. Kaki itu baru berhenti tepat di depan sebuah pintu. Dirinya menarik nafas panjang, kemudian ia menggeser pintu itu. Ia memasuki ruangan yang ternyata adalah sebuah kelas. Dan..
"Heee, bangun kesiangan, Ino? Beruntung hari ini Kakashi-sensei yang mengajar jam pertama di kelas kita, jadinya kau tak mendapat hukuman. Sungguh menyebalkan tak bisa melihatmu di hukum," ujar Sakura pelan. Nampaknya Sakura telah menunggu kedatangan Ino sedari tadi, buktinya Sakura tengah bersandar di samping pintu kelas seperti tengah menunggu sesuatu.
Ino, nama gadis itu, tersenyum sinis. "Waduh, Sakura. Pagi ini kau telah menggosok dahimu ya? Nampak seperti cermin yang memantulkan sinar matahari nih. Silau," sahut Ino sembari merapikan diri.
Sakura yang mendengar perkataan Ino pun terlihat marah. Otot-otot di dahinya menonjol. "Apa katamu, gendut?" gigi-gigi Sakura bergemertak.
Senyuman Ino semakin lebar. "Sepertinya telingamu mulai tuli ya, Sakura? Sudah berapa lama kau tidak membersihkan telingamu?" sindir Ino lagi.
Mulut Sakura berdecak kesal. Niatan awal ingin menyindir Ino, eh, malah akhirnya ia yang disindir Ino. Sungguh menyebalkan, batin Sakura.
Ino berjalan melewati Sakura. Dagunya terangkat menandakan dirinya puas akan kemenangan kecil yang ia raih. Namun, hal itu tak bertahan lama. Secara tiba-tiba, Sakura menyerang Ino. Tangan mungil Sakura menjambak rambut Ino, membuat Ino mengerang kesakitan. Teman-teman satu kelas mereka yang awalnya tak menyadari aksi sindir-menyindir antara Sakura-Ino, kini mulai memandang aksi brutal yang kini mereka lakukan.
Tas sekolah Ino yang tadi ada di genggaman tangannya, kini telah hilang entah ke mana. Ino balas menjambak rambut pink Sakura yang pendek. Sakura semakin keras menarik rambut Ino. Ke duanya memekik kesakitan. Tak ada seorangpun teman mereka yang berniat untuk melerai. Salah satu dari mereka malah sedang asyik memakan popcorn yang entah ia dapat dari mana.
"Kenapa mereka berkelahi?" tanya murid lelaki berambut pantat ayam.
"Entahlah, Teme. Sakura dan Ino kan memang sering seperti itu," sahut lelaki berambut kuning.
Ketua kelas mereka, si rambut nanas, terlihat kesal akan keributan yang Sakura dan Ino ciptakan. "Mendokusai," ia mengucapkan trademark-nya yang terkenal.
Namun, kericuhan itu akhirnya terpecahkan karena seseorang. Kakashi –sensei yang notabene adalah wali kelas mereka. Kakashi-sensei datang dengan seorang murid lelaki yang tampak tak familiar. Murid-murid yang beberapa waktu yang lalu bergerombol di sekitar Sakura dan Ino pun mulai kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Tak terkecuali Sakura dan Ino.
Sakura dengan sengaja menyenggol bahu kiri Ino dengan keras. "Itai!" teriak Ino spontan. Sakura menyeringai. Ino memukulkan tas sekolahnya ke kepala Sakura. Namun sayang, pukulan itu tak mengenai target.
"Sakura, Ino. Kembali ke tempat kalian," perintah Kakashi.
Ino dan Sakura saling melemparkan deathglare terbaik mereka, sembari berjalan menuju tempat duduknya. Ino menghempaskan pantatnya ke kursi dengan hati dongkol.
"Oke anak-anak, hari ini kalian mendapatkan teman baru. Silahkan perkenalkan dirimu, Sai." Ujar Kakashi-sensei sembari tersenyum, walaupun senyumannya tak terlihat karena masker yang ia kenakan.
Kini tatapan anak-anak sekelas terpaku pada lelaki yang berada di samping Kakashi. Lelaki itu bertubuh tinggi dan tegap. Rambutnya hitam pekat. Cukup tampan dan mirip dengan Sasuke si rambut pantat ayam sekilas. Namun ia akan nampak sedikit sempurna jika kulitnya tidak sepucat zombie. Sungguh kulit yang sangat pucat, terlihat seperti ia tak pernah bermandikan cahaya mentari.
"Hai, aku Sai. Yoroshiku na," hanya lima kata simple yang keluar dari mulutnya. Tapi hal itu telah dapat memicu rasa penasaran murid-murid di kelas itu.
"Kenapa kau pindah ke sini?"
"Asalmu dari mana?"
"Kakkoi!"
"Kau mirip Sasuke! Apa kau berhubungan darah dengannya?"
"Apa kau sudah punya pacar?"
Berbagai pertanyaan dan pernyataan terlontar dari banyak murid. Mereka berlomba menarik perhatian sang murid baru, terutama kaum hawa. Tapi beberapa orang nampak tak tertarik dengan murid baru itu.
Ino memandang Sasuke dan Sai bergantian. "Memang mirip," bisik Ino pada dirinya sendiri.
"Huh, dia tak ada apa-apanya denganku. Hn," ujar Sasuke sembari menyisir rambutnya dengan jemari-jemari tangannya.
Sakura yang duduk tepat di samping Sasuke pun mengalihkan pandangannya pada cowok berotak encer itu. "Apa dia saudaramu, Sasuke?" tanya Sakura penuh nada penasaran.
Naruto yang berada di depan Sasuke dan Sakura pun membalikkan badannya menghadap sepasang sejoli itu. "Jika si murid baru adalah saudara Sasuke, pasti dia sombong dan songo seperti Sasuke. Darah Sasuke kan darah kotor," cibir Naruto sembari melemparkan cengiran khasnya.
Baik Sasuke maupun Sakura pun melemparkan deathglare mereka pada Naruto. Shikamaru yang berada di dekat mereka bertiga hanya bisa berdecak kesal . "Mendokusai," gerutunya.
Ino mengalihkan perhatiannya ke depan kelas. Sai melemparkan senyumannya kepada seisi kelas, dan di mata Ino, senyuman itu nampak licik.
"Oke, cukup anak-anak," perintah Kakashi-sensei membuat kelas kembali tenang. "Sai, silahkan duduk di kursimu. Di baris belakang samping Ino," perintah Kakashi-sensei pada Sai. Sai menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Sai berjalan menuju tempat duduknya. Ino menompang dagunya. Bosan, itu yang sedang dirasakannya.
Sai menghempaskan tubuhnya di tempat duduknya, matanya melirik Ino yang ada di sampingnya. Ino menyadarinya.
"Apa?" tanya Ino.
"Ah, salam kenal. Aku Sai," Sai mengulurkan tangannya. Namun bukan jabat tangan yang tercipta, tapi kecuekan yang diterimanya.
Ino membuang muka. "Aku sudah tau," ujar Ino. Bukannya sikap Ino dingin. Tapi karena pertengkaran kecil dengan Sakura tadi, itu membuat Ino sedikit bete. Dan hal itu membuat Ino sedikit ketus.
Sai tersenyum lagi. Ditariknya tangannya yang tadi diacuhkan oleh Ino. "Rubah," bisik Ino yang tak sengaja melihat Sai yang sedang tersenyum.
"Apa?" kini berganti Sai yang bertanya.
Ino kembali membuang muka. "Bukan apa-apa."
Hening. Tak ada yang berbicara. Hanya suara Kakashi-sensei yang sedang menjelaskan di depan kelas yang terdengar. Namun suasana itu tiba-tiba musnah karena tiga patah kata yang keluar dari mulut Sai kemudian.
"Kamu jelek ya," bisik Sai sembari membaca sebuah buku kecil, sepertinya buku saku. Namun buku itu bukan buku pelajaran yang sedang berlangsung. Di cover buku itu tertulis dengan tulisan tebal "Tips-tips Berteman".
Sontak saja Ino yang mendengar hal itu langsung membelalak kaget, ditolehkan kepalanya ke arah Sai yang masih asyik membaca buku. "Apa maksudmu berkata seperti itu, cowok albino?" teriak Ino histeris. Tak tanggung-tanggung, tangan kecil Ino ikut menggebrak meja sembari berdiri untuk mendramatiskan suasana.
Sai mengangkat kepalanya untuk menatap Ino yang sekarang benar-benar terlihat marah. "Lihatlah dirimu. Rambutmu acak-acakan. Pakaianmu tak rapi. Sungguh jelek untuk di lihat," ujar Sai pelan, sungguh pelan hingga Ino saja yang dapat mendengarnya.
Bagai tersambar petir saat itu juga. Ino pun tak segan-segan melayangkan tangannya untuk menampar pipi Sai yang putih pucat hingga berbekas telapak tangan berwarna kemerahan di pipi itu. Bukannya meminta maaf atas apa yang telah ia perbuat, Ino malah berlari pergi meninggalkan kelas. Meninggalkan Sai yang tengah terpaku. Dan meninggalkan seisi kelas yang tengah kaget akan kejadian yang tak terduga itu.
"Apa aku salah berkata seperti itu?" tanya Sai pada dirinya sendiri. Sai menatap sebaris kalimat di buku yang tergeletak terbuka di mejanya. "Berkatalah dengan jujur pada calon temanmu."
.
.
.
.

Esok harinya.
Ino berangkat ke sekolah terlalu pagi hari ini. Jarum jam baru menunjukkan pukul 06:45, tapi Ino sudah berada di sekolah. Terlalu cepat 45 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai.
Ino melangkahkan kakinya dengan riang. Pagi ini moodnya telah membaik. Senyum manis terukir di wajahnya. Dari mulutnya keluar dendangan sebuah lagu. Terlihat benar-benar sedang berada di moodnya yang terbaik, saat ini.
Ino menggeser pintu kelasnya. Kelas itu masih kosong, hanya ada tiga orang lelaki di kelas itu saat ini. Ino berjalan menuju tempat duduknya. Baru saat berada di tempat duduknya lah ia baru menyadari ada sesuatu di laci mejanya. Ino mengeluarkan benda itu. Setangkai bunga mawar hitam. Cukup bagus.
Kening Ino berkerut. "Sakura?"tanya Ino pada dirinya sendiri. Kemudian ia melirik ketempat duduk Sakura. Kosong, Sakura belum datang. Lagipula Sakura tak mungkin mengirim bunga ke padanya. Sakura tak mungkin melakukan hal yang dianggapnya licik. Lalu siapa? Batin Ino bertanya-tanya.
Ino melirik ketiga teman sekelasnya. "Chouji, Lee, Kiba. Kalian tahu siapa yang mendekati mejaku pagi ini?" tanya Ino pada mereka.
Lelaki gemuk yang tengah memakan snack, Chouji menghentikan aktifitasnya sejenak. "Hmmm, aku tak tahu Ino."
"Aku tahu. Itu Sasuke!" sahut Kiba lantang.
Ino kembali mengerutkan keningnya. "Sasuke?" tanya Ino memastikan.
"Iya, Sasuke!" ujar Kiba percaya diri.
"Aku belum melihat Sasuke hari ini, Lee. Aku rasa Sasuke pun belum ke kelas pagi ini," sahut Chouji sambil mengunyah snacknya. Kening Ino semakin berkerut.
"Bukannya si murid baru?" tanya Lee.
"Sai?" tanya Kiba.
"Iya. Sai kan mirip Sasuke, mungkin tadi kau salah mengenalinya, Kiba." Tutur Lee.
Benar juga kata Lee. Mungkin si cowok albino itu yang mengirim bunga ini. Tak mungkin Sasuke, Sasuke kan tak ada masalah denganku. Pikir Ino. Ino melirik tempat duduk Sai dan mendapati sebuah tas tengah tergolek di atas meja Sai. Tuh kan, sorak hati Ino karena telah mengetahui sang pelaku.
"Kalian tahu kemana si cowok albino itu?" tanya Ino lagi.
Ketiga lelaki itu saling berpandang-pandangan. "Tak tahu," jawab mereka bersamaan.
Ino berdecak sebal. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari Sai. Tak lupa ia juga membawa mawar hitam tadi.
.
.
.
.

"Hei, cowok albino!" teriak Ino memanggil Sai.
Kini Ino tengah berada di atas sekolah. Ino telah mengubek-ubek seisi sekolah. Hingga toilet laki-laki pun ia masuki! Untung saat itu sekolah masih sepi, dan toilet laki-laki juga masih kosong. Jadi tidak ada yang memandang Ino dengan tatapan aneh.
30 menit telah berlalu sejak Ino menemukan mawar hitam di atas mejanya. Kini tinggal 15 menit lagi sebelum bel berdering. Dan beruntung Ino segera menemukan Sai. Namun Ino tidak bisa dibilang beruntung. Karena seluruh ruang di KSHS telah ia periksa satu-satu, kecuali ruang kepala sekolah tentunya.
Sai yang berdiri memunggungi Ino membalikkan badannya hingga berhadapan dengan Ino yang berdiri 10 meter darinya. Sai memasukkan buku saku kedalam saku celananya yang tadi ia baca.
"Pagi, Ino. " Sapa Sai sembari tersenyum. "Ada apa?" tambah Sai.
Ino berjalan mendekati Sai. Tangannya mengacungkan setangkai mawar hitam yang sedari tadi ia bawa.
"Apa kau yang menaruh mawar ini di laci mejaku?" tanya Ino memastikan.
Lagi-lagi Sai tersenyum. "Iya. Bagus, kan? Kau suka?" tanya Sai yang sepertinya, senang.
Ino berhennti tepat 2 meter di depan Sai. Giginya bergemeretakan. "Apa maksudmu mengirimiku mawar hitam ini? Kau ingin menantangku?" tanya Ino berapi-api. Mood Ino yang tadi sempat membaik kini mulai kembali memburuk.
"Aku hanya ingin minta maaf karena ucapanku kemarin sepertinya telah melukaimu," jawab Sai.
"Kau bercanda? Kau tahu apa arti mawar hitam?" Sai menggeleng. "Jangan membodohiku! Kau pasti tau artinya, cowok albino. Mawar hitam artinya mati!" Sai terbelalak kaget. "Aku tak akan pernah senang menerima bunga seperti ini!" Ino melemparkan mawar hitam itu ke lantai, dan diinjaknya mahkota mawar hitam itu dengan penuh kemarahan. "Dan seperti perkataanmu, kau telah melukaiku dengan kata-katamu kemarin. Dan dua hal yang telah kau perbuat ini membuatku yakin untuk membencimu, cowok albino!" setelah mengucapkan itu Ino beranjak pergi meninggalkan Sai sendirian di atap.
"Aku.. salah lagi?" tanya Sai entah pada siapa.
Dan kemudian bel tanda pelajaran dimulai pun berkumadang.
.
.
.
.

Sejak kejadian seminggu lalu, Ino mulai menghindari Sai. Walaupun hal itu tidak terlalu berhasil, karena bagaimanapun juga ia duduk di samping (sebangku) Sai. Dan Kakashi-sensei yang sepertinya menyadari perilaku Ino, malah memberi tugas kelompok yang harus dikerjakan dengan teman sebangku. Dan hal itu membuat Ino berkali-kali mengutuk guru wali kelasnya.
Tapi yang membuat Ino sedikit lega, saat Ino kabur dari kewajibannya untuk bekerja sama mengerjakan tugas. Sai dengan sukarela mengerjakan tugas itu sendiri dan mengakui bahwa itu hasil kerjasamanya dengan Ino. Setidaknya Ino masih mendapat nilailah.
Sore ini sepulang sekolah, Ino mendapati sebuah buket kecil bunga Hyacinth ungu berada di loker sepatu miliknya. Ino melirik ke sana ke mari mencari orang yang telah menaruh bunga itu. Namun nihil, tak ada siapa-siapa di sana. Maklum saja, bel pulang sekolah telah berdering satu setengah jam yang lalu. Didekapnya bunga yang mirip bunga sedap malam.
Akhirnya Ino memutuskan untuk membawa pulang buket bunga itu. Baru beberapa langkah Ino meninggalkan gedung sekolahnya, ia baru menyadari sesuatu.
"Tunggu, buket bunga? Hyacinth ungu? Kalau tidak salah, bunga ini berarti 'maaf'. Jangan-jangan.." Ino membalikkan badannya, mencoba melirik atap gedung sekolah tanpa ketahuan. Tepat seperti dugaannya, Sai tengah menatapnya dan tersenyum padanya. Ino pun dengan terburu-buru pergi meninggalkan tempat itu secepat mungkin.
Dengan pipi yang memerah, tentunya.
.
.
.
.
.

Sejak saat itu, entah mengapa Ino mulai mendapati buket kecil bunga ataupun hanya setangkai saja. Mulai dari bunga Calla yang memiliki arti 'cantik', bunga Magnolia yang memiliki arti 'manis dan cantik', dan berbagai bunga lain yang memiliki arti yang hampir sama. Hingga akhirnya membuat kamar Ino penuh wangi bunga. Dan hal itu cukup membuat Ayah Ino penasaran, apalagi ia tak mendapati bunga-bunga di tokonya tak berkurang secara misterius. Jadi yang pastinya putrinya tidak mengambilnya dari barang dagangan keluarga mereka.
Walaupun Ino awalnya tak menyukai mendapatkan berbagai bunga itu. Namun akhirnya ia mulai menyukainya. Dan ia pun tahu siapa yang mengirimkannya, walaupun di setiap bunga yang ia terima ataupun temukan tak ada identitas si pengirim. Ino yakin, hanya satu orang yang bisa, atau lebih tepatnya, sudi mengirim berbagai macam bunga itu padanya.
Cowok albino. Begitulah sebutannya pada lelaki itu. Lelaki yang sempat ia benci, namun kini mulai berubah menjadi rasa yang lebih positif.
Ino merapikan bunga-bunga yang ada di toko keluarganya, sembari mengumbar senyuman manis pada bunga-bunga itu. Tanpa ia sadari, lelaki yang tengah ia pikirkan tengah memperhatikannya dari luar toko bunga miliknya.
.
.
.
.

Seperti biasa, Ino selalu melakukan ritualnya secara rutin di sore hari. Ritual menjaga toko bunga keluarganya. Ino sedang memeriksa bunga-bunga kesayangannya ketika lelaki itu datang.
Ino menoleh ke arah pintu dan mendapati Sai tengah berdiri tak jauh dari sana. Tengah tersenyum memandangnya. Mau tak mau pipi Ino memerah. Senyuman terukir di wajahnya.
Sai beranjak dari tempatnya. Bukannya menghampiri Ino, ia malah berjalan menjauhinya. Melewati baris demi baris rak-rak berisi beraneka ragam bunga. Ino yang notabene sang penjual pun mendekati Sai.
"Cari bunga apa?" tanya Ino lembut. Sungguh berbeda 180 derajat dari apa yang dulu Ino ucapkan di hari pertama ia bertemu dengan Sai.
Bukannya menjawab pertanyaan Ino, Sai malah mengacuhkannya. Akhirnya Ino malah mengekor kemana pun Sai tuju. Pertama di deretan bunga mawar, kemudian bunga tulip. Hingga akhirnya di deretan rangkaian bunga beserta vasnya. Baru di deretan inilah Sai berhenti.
Ino yang penasaran pun mengamati gerak-gerik Sai. Sai mengambil sebuah vas berisi bunga berwarna ungu.
"Kau ingin membeli bunga Lilac?" tanya Ino. Dan lagi-lagi pertanyaan Ino tak digubris oleh Sai.
Ino yang mulai dongkol karena diabaikan pun berniat meninggalkan pembeli yang tuli itu. Tapi, saat akan melangkah pergi, lengan Ino di tarik Sai. Ino memandang Sai. Sai kembali tersenyum, senyuman yang mirip rubah, kata Ino dulu.
"Untukmu," ujar Sai pelan, hampir seperti bisikan.
Ino menatap Sai tak percaya. Ino menunjuk dirinya sendiri. "Aku?" tanya Ino memastikan. Sai mengangguk.
"Bunga ini tak murah loh!" ujar Ino mencoba menggoda.
"Aku tak tanya harga," sahut Sai.
"Apa kau tau arti bunga ini?" tanya Ino sembari menggigit bibir bawahnya.
Lagi-lagi Sai menganggukkan kepalanya. Kontan muka Ino memerah kembali. "Benar buat aku?" tanya Ino untuk kesekian kalinya.
"Kalau kau tak mau ya sudah."
"Eh eh, mau kok!" ujar Ino tergagap. Ino merebut vas itu. "Tapi kamu yang bayar loh!" tambah Ino mengingatkan. Sai tersenyum.
Tapi, kok dikasih Lilac sih? Lilac kan artinya cinta pertama. Jadi Sai cuma mau kasih tahu kalau aku cinta pertama dia? Tanya Ino dalam hatinya.
Tiba-tiba Sai menyelipkan setangkai mawar merah di antara bunga-bunga Lilac itu. Ino ternganga. Mawar merah?
Lagi-lagi Sai tersenyum. "Jawabannya?"
Ino sadar, kini Sai sedang menyatakan perasaannya! Dan Sai ingin segera mendapatkan jawaban dari Ino.
Ino berlari meninggalkan Sai sendiri. Beberapa saat kemudian Ino kembali.
Ino tersenyum. Di ulurkannya setangkai bunga Endelweiss ke pada Sai. Sai menerimanya. Lalu di keluarkan sebuah buku kecil, bukan buku saku yang biasa ia baca, tapi buku dengan judul 'Bahasa Bunga'. Sai membolak-balik halaman demi halaman. Ino yang melihatnya terkikik geli. Ternyata selama ini Sai mengiriminya bunga dengan panduan buku itu. Sai benar-benar cinta padanya!
Raut muka Sai nampak sedikit sedih. "Nggak salah bunga?" tanya Sai memastikan. Ino menggeleng. "Ohh."
Lagi-lagi Ino menyodorkan setangkai bunga. Bunga yang bagus tapi memiliki arti yang tak bagus. Mawar hitam.
Sai terbelalak menatap bunga itu. Sai memandang mawar hitam, Ino, mawar hitam, dan Ino.
"Mati?"
Ino tersenyum. "Jika arti sebenarnya adalah mati. Jika mawar hitam adalah bentuk kebencian. Tapi untukku bukan itu arti sebenarnya. Bunga ini khusus aku berikan untukmu, Sai. Ini bunga pertama yang pernah kau berikan padaku." Untuk pertama kalinya Ino memanggil Sai dengan namanya. "'Gomen'," satu kata yang membuat Sai semakin terpuruk. "'Suki yo—suka kamu!'..." Dua kata yang sukses mengembalikan senyuman Sai.
"Hontou ni?"
"Albino, anata no koto ga daisuki—aku sayang sekali sama kamu. Apa perlu aku meneriakkannya?" tanya Ino.
Sai terkekeh. "Boleh saja," tantang Sai.
"Kapan-kapan ya."
"Curang!"
"Biarin, weeee."
"Ino jelek!"
"Cowok albino, nyebelin!"
"Aku bukan albino!"
"Aku juga nggak jelek kok."
"Jelek nggak, gemuk iya."
"Aaah, kenapa kau tercemari oleh perkataan Sakura!"
"Ino gemuk~"
"Aku nggak gemuk, baka albino!"
"Tapi kelebihan lemak?"
"Nggak. Yaudah aku nggak bakal teriakin 'ALBINO, ANATA NO KOTO GA DAISUKI!'!"
"Dan kau telah meneriakkan kata itu, Ino."
"Waaaaa, yadaaaaaa—tidaaaak!"
"Khukhukhu."
.
.
.
.
Owari

Haaaa, maaf jika banyak yang di skip *nunduk-nunduk sampai kejedot lantai*
Dan Gomen karena endingnya aneh *pundung*
Arigatou buat yang sudah read, and hontou ni arigatou untuk yang sudi untuk memberi review
.
.
REVIEW, please?
.
.
.

2011年6月26日

Postingan ini khusus aku buat untuk 'my twin' or my rival.

 Hai Ren. Apa kabar? Ah, maaf ya aku tidak bisa memenuhi janjiku padamu. Um, mungkin kamu tak tahu janji seperti apa, karena itu janji yang aku tanamkan sendiri pada diriku beberapa bulan yang lalu di Blog ini.

Maaf ya, aku tidak bisa masuk di sekolah yang sama denganmu. Di sekolah itu. Smanda.

Beberapa bulan yang lalu aku telah melupakan janji itu. Maaf ya. Padahal aku ingin sekali satu sekolah lagi denganmu. Mengalami suasana seperti dulu lagi.

Aku kangen kamu Ren. Aitaii na.. Ren.

Ren, aku harap kita masih dapat bertemu. Walaupun kita tak berada di sekolah yang sama, hal itu bukan halangan kan?

Ren, aku harap kau tak melupakanku. Jika kau telah melupakanku, awas saja ya! *asah golok*

Ren, telah 3 tahun terakhir aku bertemu denganmu. Kapan aku akan bisa bertemu denganmu lagi?

Ren, aitaii na.. Aitaii..

Ren, kau tau? Aku sangat kaget saat mengetahui namamu ada di antara nama orang-orang yang tak aku kenal yang mendaftar di sekolah itu. Aku terlebih kaget akan nilai yang kau capai. Sepertinya kau mulai menjadi 'lebih' dari aku ya?

Kau tahu Ren? Kau akan satu sekolah dengan seseorang yang sukai sekarang. Aku harap kau tak akan berteman dengannya. Haha, kenapa? Karena aku dengar kamu playboy. Aku tak ingin orang yang aku sukai menjadi playboy sepertimu. xP

Joudan da yo! Becanda! Aku harap kamu bisa berteman baik dengannya Ren. Sepertinya walaupun aku tak mengharapkan hal itu, kau tetap akan berteman dengannya. Aku tau sifatmu memang seperti itu Ren.

Ren, jika kita bertemu. Apa kita akan seperti dulu? Kembali mencekcokkan nama kita? Ah, tapi nama panggilanku sudah berubah Ren. Dan penampilanku juga telah berubah. Mungkinkan kau masih mengenali ku?

Ren.. Aitaii na.. Aitaii..

Sekali lagi, gomen ne. Aku ingin sekali masuk ke sekolah itu.. ingin sekali..

Gomen ne, Ren..

Gomen..

Jya, Ren.. 'my twin'.. :)

2011年6月26日

Lohaaa~!!

Sudah 20 hari setelah saya 'comeback' di blog ini. Dan, telah sedikit banyak hal yang terjadi dalam 20 hari ini.
O-oh! Ternyata kemarin saya wisuda tidak memakai kebaya! Hal itu sedikit membuat saya kecewa, karena oh karena, saya sedang ingin memakai kebaya untuk kedua kalinya~.

Yatta! Saya diterima oleh sekolah RSBI itu~!! Tapi, salah satu orang terdekat saya di SMP, si pujaan hati, dan satu teman saya di kursus tidak di terima di sekolah itu seperti saya. Cukup sedih saat saya mengetahui hal itu. Bagaimana tidak? Setengah dari jumlah teman satu SMP saya di terima di sekolah itu, tapi tiga orang yang saya sukai malah tidak diterima. Saya ingin marah, tapi pada siapa? Saya tidak ingin seperti teman saya yang melemparkan kesalahan pada pihak beruntung hanya karena teman-temannya tidak diterima di sekolah itu. Saya jelas merasa tersindir akan perkataan teman saya itu, dia bilang "Orang pintar kalah oleh orang beruntung". Well, menurut saya memang benar. Tapi jangan salahkan pihak beruntung dong. Mereka harus mengaca dulu, apa prepare mereka sebelumnya itu maksimal? Padahal kesalahan sendiri berawal pada diri sendiri.

Oke balik lagi, dan teman satu kursus saya pun sepertinya memutuskan untuk mendaftar sekolah di kota tetangga. Sedangkan teman terdekat saya, saya tak tahu kabarnya. Dan sang pujaan hati sudah di terima di sekolah yang dulu sempat menjadi sekolah impian saya. Sekolah tempat kakak saya dulu sekolah. Sekolah yang dulu ada di belakang rumah saya. Ugh, saya ingin sekolah di sana juga. Tapi itu tidak bisa. Kenapa? Karena nilai ujian saya rendah, sangat rendah. Dan hal itu tidak dapat menunjang saya untuk dapat masuk ke sekolah itu. Oh, sucks.

Ummm, saya terserang penyakit gawat. Penyakit bosan. Rapot, SKHU, dan Ijazah telah ada di tangan, jadi tidak ada alasan lagi bagi saya dan teman-teman untuk pergi ke sekolah (SMP). Hal itu cukup membuat saya sedih. Kenapa? Karena itu artinya saya sudah tak bisa bertemu dengan sang pujaan hati *ceilah*. Dan hal itu membuat saya terserang penyakit menyebalkan itu. Saya tidak bisa bertemu dengan teman-teman saya, yang notabene adalah sumber hiburan saya yang terakhir. Jadinya saya menganggur di rumah. Tanpa uang saku, tentunya.

Liburan tapi tidak terasa seperti liburan. Saya ingin pergi ke suatu tempat. Ke oasis saya. Tentu saja tempat itu adalah, bookstore. Kekeke.

Kemarin-kemarin, tante saya sempat ingin mengajak saya ke rumahnya. Tapi terlambat, saya baru berbicara dengannya saat beliau sudah berada di pulau tempat rumahnya berada. Oh, sucks (lagi). Beliau menawarkan agar saya berangkat sendiri. Saya sih oke oke aja, kan saya sendirian cuma waktu di pesawat. Tapi, yang saya bingungin itu tiket pesawatnya. Keluarga lagi krisis keuangan bok *halah*. Dan tante saya tak kunjung memberikan penjelasan lagi. Haduh, keburu liburanku abis nih, tinggal 2 minggu lagi liburan saya berakhir.
Haaaah, sepertinya memang seperti inilah takdir liburan saya. Mana nggak ketemu si pujaan hati, Ichi *ceilah*. Bosennya minta ampun.Gah... ==a

Ok, just until here guys. Thanks for read my post yang nggak penting banget ini. LOL.

See ya!

Fic Fairy Tail - Gomen ne, Lu

Hai~ Hyu datang lagi dengan fanfic ke dua Hyuu di fandom FT ini
Mari ramaikan fandom FT!
Natsu : Lu! *peluk Author*
Lucy : eh, itu Hyuu bukan aku kale~
Natsu : eh? nggak apa-apa deh, Hyuu juga cakep kayak Lucy
Hyuu : ah, makaseh~ *kissu*
Lucy : Hyuu baka!
PLAK!
Hyuu : *megang pipi* oh, no! *lebay kumat*
ok, dari pada menonton drama nggak jelas ini, kita langsung saja~
Selamat menikmati~! (emang makanan? ==") xDD


Disclaimer : Fairy Tail bukan milik Hyuu, kalau milik Hyuu, dari awal Natsu bakal langsung fall in love sama Lucy!
Pemeran : Lucy dan Natsu dan beberapa pemeran pembantu lainnya #plak
Genre : Entahlah, karena Hyuu nggak tau jadinya Hyuu taroh di genre Family deh! *nekat* #plak
Warning : Super duper OOC
Summary : Natsu membuat Lucy marah kerena Natsu telah melakukan sesuatu pada Lucy. Apa itu? Dan apa yang akan diperbuat oleh Natsu? Cekidot~
Gomen ne, Lu
.
.
.

Di sebuah gedung milik Fairy Tail, nampak seorang gadis muda berambut kuning tengah menyandarkan kepalanya di atas sebuah meja. Kedua lengannya mengapit kepalanya hingga wajahnya tak terlihat. Seorang gadis yang tampak lebih tua darinya menghampiri meja itu dengan baki berisi secangkir teh hangat.
"Lucy, ini teh herbal, rekomendasi dariku." Ujar gadis berambut putih itu sembari meletakkan cangkir yang dibawanya tadi. Mira, nama panggilan gadis berambut panjang itu.
Gadis berbadan montok itu mengangkat kepalanya, menyadari seseorang telah menyebut namanya. Mukanya nampak kuyu, tak bersemangat. Menyadari mood Lucy sedang tak begitu baik, Mira pun duduk di hadapannya.
"Ada apa Lucy? Wajahmu terlihat kusut. Apa ada masalah?" tanya Mira yang telah siap untuk mendengar keluh kesah Lucy.
Lucy menompang dagunya. Mulutnya mengerucut. "Ya, aku punya masalah! Taihen! Masalah gawat! Uangku menipis!" keluh Lucy dengan nada kesal.
Mira tersenyum. "Kenapa Lucy tidak mengambil pekerjaan saja?"
Lucy melirik Mira. "Apa Mira-chan pernah melihatku mengambil pekerjaan sendiri? Jawabannya tidak! Aku selalu mengambil pekerjaan dengan, minimal seorang partner! Tapi partnerku satu-satunya malah hilang mengambil pekerjaan untuk dirinya sendiri. Tanpa diriku!" ujar Lucy berapi-api. "Nampaknya dia telah melupakanku, partnernya." Tambahnya.
"Kenapa tidak mengambil pekerjaan dengan Gray atau Erza?" tanya Mira kembali.
Lucy terdiam. Sebuah gambaran terlintas di pikiran Lucy. Lucy mengernyitkan dahinya.
"Itu bukan ide yang bagus Mira-chan," sahut Lucy pelan.
Mira tersenyum. "Kenapa?"
"Karena jika aku melakukan pekerjaan berdua dengan Erza. Nampaknya akan menjadi sebuah neraka bagiku," Lucy menelan ludah membayangkan Erza memerintahnya jika ia dan Erza melakukan sebuah pekerjaan HANYA berdua. Tentu saja, di beberapa pekerjaan yang lalu, Erza selalu dapat membuat Lucy berteriak histeris akan kelakuan Erza. "Lagipula Erza sekarang sedang melakukan pekerjaan sendiri," timpal Lucy.
"Ah, benar! Umm, lalu kalau dengan Gray? Kenapa?" tanya Mira untuk kesekian kalinya hari itu.
Lucy kembali merengut. "Kau ingin aku mati seketika, Mira-chan? Jika aku melakukan pekerjaan BERDUA dengan Gray, bisa-bisa aku dijemput malaikat kematian seketika yang bernama Juvia!" seru Lucy histeris membayangkan Juvia yang tengah marah padanya.
Lucy selalu mencamkan pikiran agar tak terlalu dekat dengan Gray yang notabene adalah orang yang disukai oleh Juvia, teman satu guild-nya. Dan Juvia adalah orang yang super protektif terhadap Gray. Setiap wanita atau gadis yang ada di sekitar Gray pasti akan ia teror satu persatu. Tapi yang mengherankannya, Juvia terlalu tak menyukai Lucy yang dianggapnya rival dalam mendapatkan Gray. Padahal Lucy tertarik pada Gray saja tidak. Mungkin Juvia berpikiran seperti itu karena Lucy seringkali satu tim dengan Gray. Padahal kan di tim itu juga masih ada gadis lain, yaitu Erza.
"Kenapa tidak melakukannya bertiga dengan Juvia dan Gray saja kalau begitu?" usul Mira kembali.
"Itu tidak ada bedanya," wajah Lucy bertambah muram dari sebelumnya.
Jika mereka bertiga pergi bersama, pasti Juvia akan memelototi Lucy di manapun dan kapanpun. Dan kecemburuan Juvia akan semakin menjadi-jadi.
Lucy menyesap teh yang tadi diberikan oleh Mira. Dengan itu, mood Lucy nampak sedikit membaik.
"Sudahlah, biar aku tunggu saja si baka Natsu." Putus Lucy sembari tersenyum kecil. Mira tersenyum cerah mendapati Lucy tak semuram tadi.
"Aku pergi dulu ya, Mira-chan." Pamit Lucy sembari beranjak.
"Kemana?" Mira bangkit dari posisi duduknya.
Lucy menepuk-nepuk tas berukuran sedang yang sedari tadi tergantung di badannya. Ia tersenyum simpul. Mira tersenyum maklum.
"Nanti siang datang lagi ya Lucy!"
"Oke! Jya, Mira-chan!"
.
.
.

Lucy sudah hampir satu jam duduk beralaskan rerumputan di taman. Jemari tangannya yang lentik menari-nari di atas kertas-kertas yang awalnya putih polos, namun dalam beberapa menit telah penuh terisi tulisan kecil nan rapi. Di sekitarnya nampak berserakan kertas-kertas yang telah berisikan tulisan Lucy. Lucy terlalu serius hingga ia tak menyadari sedari tadi ada seseorang yang telah duduk di sampingnya dan memperhatikannya.
"Sedang apa, Lu?" cowok berambut pink itu akhirnya menyapa Lucy, membuat Lucy menghentikan aktifitasnya dan menoleh.
"NATSU?" jerit Lucy tertahan. Matanya melotot menandakan ia terkejut akan kehadiran Natsu.
Natsu tersenyum lebar. "Yo, Lucy."
"Bu, bukannya kamu sedang mengerjakan pekerjaan?" tanya Lucy tergagap. Lucy terdiam sejenak. "Sendirian?" tambah Lucy sembari menekan kata sendirian.
Natsu menghempaskan tubuhnya di rerumputan. "Sudah selesai," Natsu melemparkan cengiran khasnya. "Kenapa sih, Lu? Kamu marah karena tak aku ajak?" tanya Natsu polos.
Lucy terdiam. "Kalau aku bilang iya, pasti Natsu akan segera mengajakku mengambil pekerjaan. Tapi sekarang aku sedang tidak mood, coba dia mengajakku 1 jam yang lalu." Batin Lucy.
"Tidak," jawab Lucy singkat sembari mengumpulkan kertas-kertasnya yang berserakan.
"Ooh," hanya itu yang keluar dari mulut Natsu.
Natsu mengamati Lucy. "Hey Lu, kamu belum menjawab pertanyaanku. Sedang apa kamu, Lu?" tanya Natsu kembali. Lucy bukannya menjawabnya, ia malah asyik menyusun kertas-kertas itu sesuai nomor.
"Lu?" panggil Natsu. Lucy mengabaikannya. "Lu?" panggil Natsu lagi. Lucy hanya menganggap lalu panggilan Natsu. "Lu? Kamu marah ya?" tanya Natsu untuk kesekian kalinya. Tapi lagi-lagi pertanyaan dan panggilan itu tak digubris Lucy.
Natsu menggembungkan pipinya, menandakan ia mulai kesal akan kelakuan Lucy. Natsu mencoba menarik kertas-kertas yang ada di tangan Lucy. Kontan Lucy ikutan menarik untuk mempertahankan ketas-kertas yang tak bersalah itu. Sontak saja, aksi tarik menarik pun tak terhindari. Antara Natsu yang ingin membaca dan menarik perhatian Lucy. Sedangkan Lucy yang ingin mempertahankan kertas-kertasnya.
Dalam waktu beberapa menit mereka saling tarik menarik kertas-kertas itu sekuat tenaga. Hingga akhirnya hal itu terjadi. Sekumpulan kertas itu robek menjadi dua. Membuat kedua pelaku tersebut jatuh terduduk. Keduanya membeku memandang beberapa kertas yang tengah betebangan yang tadi terlepas dari genggaman Lucy dan Natsu.
Natsu terdiam. Matanya melototi kertas-kertas yang berserakan itu. Seakan mencoba memerintah mereka untuk kembali merekat seperti beberapa saat yang lalu. Natsu tahu, kumpulan kertas yang sebagian ada di tangannya itu sangat lah penting bagi Lucy. Lucy tak pernah membiarkan seorangpun membacanya. Yah, kecuali Gray yang dulu tanpa sepengetahuan Lucy, sempat membacanya.
Natsu memberanikan diri mencoba melirik Lucy. Lucy, duduk membeku menatap buah tangannya. Hasil karyanya selama beberapa hari. Telah banyak waktu ia curahkan untuk kertas-kertas itu. Telah banyak aktifitas yang ia korbankan untuk kertas-kertas itu. Tak terhitung pengorbanannya untuk itu. Hanya untuk kertas-kertas itu. Kertas-kertas yang berisikan novelnya. Novel pertama karyanya.
Kini, tepat di depan matanya. Karyanya hancur. Karenanya. Karena tangan yang juga telah menciptakannya. "Sungguh menggelikan," desis Lucy marah.
Serta-merta Lucy menyambar tas miliknya, sang saksi bisu dalam kejadian itu. Lucy berlari dengan mata berkaca-kaca. Meninggalkan sebagian barangnya yang tak sempat ia ambil. Meninggalkan kertas-kertasnya. Dan juga, meninggalkan Natsu sendirian...
.
.
.

Lucy meringkuk seperti kucing di kasurnya. Terdengar isakan kecil yang keluar dari bibir mungilnya. Matanya terpejam, tapi bulir-bulir air matanya menyelinap keluar melewati kelopak matanya. Keristal bening itu jatuh bergulir di pipinya yang halus.
Kamar Lucy gelap gulita. Hanya seberkas cahaya dari luarlah satu-satunya cahaya yang menyinari kamar itu. Sang empunya kamar tak ada niatan sedikitpun untuk beranjak dari kasurnya hanya untuk menyalakan penerangan. Mungkin kegelapan dapat meredamkan suara tangisannya, pikirnya.
Seberkas cahaya tiba-tiba muncul di kamar itu. Lalu tiba-tiba muncul seorang lelaki di tempat itu. Cahaya itu menghilang dan akhirnya membuat kamar itu kembali gelap. Lelaki berambut oranye itu berjalan mendekati kasur Lucy. Tak sepatah kata sapaanpun keluar dari mulutnya, seakan lelaki itu tahu bahwa Lucy saat ini sangatlah rapuh.
Lelaki bersetelan jas itu berhenti tepat di samping kasur Lucy. Tangannya mengelus-elus rambut Lucy lembut.
Lucy menghentikan tangisannya sejenak. Ia bangkit dari posisi meringkuknya. Kepalanya menoleh ke arah lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lembut pada Lucy, seakan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Lucy memeluk lelaki itu dengan erat, seakan tak ingin lelaki itu hilang. "Loki. Loki. Loki! LOKI!" tangis Lucy pun kembali pecah. Loki, nama lelaki itu, kembali mengelus-elus rambut Lucy sembari tersenyum.
"Huaaaaaaa...!"
.
.
.

Matahari telah lama tenggelam. Burung hantu telah bosan berkicau. Dan teman-teman satu guild-nya pun telah terlelap. Tapi Natsu masih terjaga. Tak ada tanda-tanda ia ingin berbaring untuk tidur walau untuk sejenak. Padahal ia belum tidur semenit pun sejak pulang dari pekerjaannya yang terakhir.
Jari-jari Natsu bergerak kesana kemari di atas sebuah meja. Matanya sesekali menyipit menatap kertas-kertas yang ada di hadapannya. Gunting dan selotip sesekali diambilnya. Peluh pun menghiasi pelipisnya.
Natsu menyusun kertas-kertas itu sesuai bagiannya. Mencoba menyatukannya kembali seperti sebelumnya.
Tepat ketika jam berdenting tiga kali, barulah ia jatuh tertidur. Bukan di atas kasurnya yang empuk. Tapi di atas meja tempatnya bergulat dengan berlembar-lembar kertas selama enam jam ini.
.
.
.

Lucy duduk terdiam. Di depannya ada secangkir teh lemon kesukaannya, tapi hanya ia sentuh seujung jaripun olehnya. Matanya nampak kosong. Tak ada senyuman yang terukir di wajahnya. Mira yang tadi sempat menyapanya pun hanya ia tanggapi dengan lalu. Tak seperti biasanya Lucy seperti ini.
"Lucy, ada masalah lagi?" tanya Mira lembut.
Lucy tersadar dari lamunannya. Sebuah senyum palsu terukir. "Tidak," jawab Lucy seceria mungkin.
Tanpa sengaja Lucy melihat sosok Levi yang tengah bercengkrama dengan partnernya. Levi adalah gadis seumuran Lucy yang notabene adalah teman satu guild dengan Lucy di Fairy Tail. Lucy sempat berjanji dengan Levi untuk membuat Levi menjadi pembaca pertama bagi novel yang tengah Lucy buat. Tapi karena kejadian kemarin, nampaknya Lucy membuat Levi menunggu lama lagi.
Senyuman Lucy mengendor ketika Levy melambaikan tangan ke arah Lucy. Lucy tersenyum kecut.
Tiba-tiba seseorang datang menghampiri Lucy. Menepuk bahu Lucy dengan ringan. Cengiran khasnya hilang entah ke mana. Natsu.
Lucy menoleh. Senyumannya kini musnah seketika.
"Lu.." panggil Natsu lirih.
Mata Lucy kembali berkaca-kaca, siap menumpahkan air mata kapan saja. Lucy bangkit dari tempat duduknya. Dalam beberapa detik Lucy telah hilang dari pandangan. Mira menatap Natsu meminta penjelasan dari perilaku Lucy. Tapi Natsu malah pergi meninggalkan guild, untuk mencari Lucy...
.
.
.

Langit telah berwarna oranye, menandakan hari telah sore. Di langit nampak segerombolan burung yang tengah terbang sembari berkaok-kaok. Sedangkan di suatu tempat di bawah langit itu, nampak Natsu yang tengah berlarian ke sana ke mari mencari Lucy sedari tadi pagi.
Natsu telah mencari di taman, tapi Lucy tak ada di sana. Kembali ke guild, namun Lucy pun tak ada di sana. Ia malah disandera oleh Mira untuk diinterogasi olehnya seputar perilaku Lucy. Natsu juga sempat menengok ke hutan tapi hasilnya pun nihil.
Kini Natsu telah pasrah. Ia pasrahkan pada kedua kakinya untuk menemukan Lucy. Kakinya berlari membawanya ke suatu tempat tanpa di komando oleh otaknya. Seakan kaki-kaki itu tau ke mana tempat yang harus di tuju.
Natsu berlari. Berlari dan berlari. Keringat bercucuran dari dahinya, punggungnya, dan badannya. Tapi tak sedikitpun rasa lelah yang ia rasakan. Tangan kirinya menggenggam kantong kertas semakin erat.
Tanpa ia sadari, kaki itu telah berhenti tepat di depan pintu kamar Lucy. Dengan sedikit ragu-ragu, Natsu membuka pintu itu.
Sepi.
Natsu mengedarkan pandangannya sekeliling kamar Lucy. Hingga akhirnya mata itu berhenti tepat mengarah ke arah kasur Lucy.
Kasur itu tak kosong. Nampak Lucy terbari di kasur itu. Tidur? Ya, Lucy tengah tertidur.
Namun Lucy tak sendirian. Di samping Lucy ada Loki. Cowok berambut oranye itu tengah mengelus-elus rambut Lucy. Menyadari ada seseorang yang datang, Loki pun mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar itu. Loki tersenyum.
"Natsu, lama tak jumpa." Sapa Loki ceria.
Natsu menampilkan cengirannya. "Hai, Loki."
"Mencari Lucy? Dia sedang tidur," sahut Loki sembari menunjuk Lucy dengan jempolnya. "Sepertinya aku hanya mengganggu di sini. Jadi, sampai jumpa Natsu." Muncul secercah cahaya, dan Loki pun menghilang.
Kamar itu kembali hening. Sepi.
Natsu melangkahkan kakinya mendekati Lucy. Satu langkah. Dua langkah. Lima langkah. Tujuh langkah.
Tepat tiga langkah lagi Natsu berada di samping kasur itu, Lucy menggeliat. Natsu menghentikan langkahnya.
Tubuh Lucy kembali diam tak bergerak. Namun kelopak mata Lucy telah terbuka. Bola mata cokelat itu pun mengarah tepat ke bola mata berwarna hitam pekat milik Natsu. Dua detik kemudian mata itu terbelalak.
"NATSU?" jerit Lucy histeris. Kontan Lucy menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal miliknya. Natsu tersenyum mendengar jeritan itu dan melihat tingkah laku Lucy.
"Hai, Lu." Sapa Natsu lembut.
Lucy mengabaikan sapaan Natsu. "Sedang apa kau di sini, Natsu?" tanya Lucy tajam.
Natsu tertawa. "Sepertinya, Lucy tak marah," batin Natsu.
"Kenapa kau tertawa? Mengejekku?" tanya Lucy salah paham.
Natsu tak menghiraukan pertanyaan Lucy. Namun ia menyodorkan kantong kertas yang sedari tadi ada di genggamannya. "Ini."
Lucy menerimanya. "Apa ini?" tanya Lucy sembari membuka kantong itu. Lucy melongokkan kepalanya mengintip isi kantong kertas. Kertas. Bukan sekedar kertas. Itu adalah kertas-kertas milik Lucy yang kemarin sobek menjadi dua. Namun kertas-kertas itu telah menyatu, disatukan oleh selotip.
"Gomen ne, Lu."
Lucy menatap Natsu. Wajah Lucy memerah. Karena malu.
"Itu bukan salahmu Natsu. Ini salahku sendiri. Aku yang telah membuatnya sobek. Dan aku malah marah tak jelas," ujar Lucy kalem.
"Bukan! Itu salahku, Lu. Andai aku tak memaksa, pasti kertas itu tak akan sobek. Maaf."
Lucy menggelengkan kepalanya sekuat tenaga. "Sudahlah, jangan salahkan dirimu."
Mereka berdua terdiam. Hening. Hingga secara tak sengaja mereka saling tatap, hingga akhirnya tawa mereka pecah.
"Sifatmu itu sungguh kekanak-kanakan, Lu!"
"Enak saja, itu kan gara-gara kamu!"
"Loh? Bukannya tadi Lucy bilang 'jangan salahkan dirimu'? jadi aku tak salah kan?"
"Aaah! Natsu bodoh!"
"Hahahaha."
"Bodoh! Ahahaha."
"Gomen ne, Lu!"
"Baka, Natsu!"
.
.
.
OWARI

Hiruma : YA-HA!
Hyuu : eh lho? kok Hiruma dari EyeShield 21 nyasar ke sini? *bingung*
Hiruma : apa kau, Author sialan!
Hyuu : *menciut*
Hiruma : Reader sialan! kirim review ya!
Hyuu : Jangan panggil Reader-sama dengan sebutan 'sialan' baka Hiruma! *teriak pake toa*
Hiruma : *nodongin senjata api*
Hyuu : ugh, ok! jangan lupa review ya! jya~ *kabur*
REVIEW, please?

Fic Fairy Tail - Arigatou

Hai~! Hyuu Author baru disini, ini fic pertama Hyuu di fandom Fairy Tail, dan fic oneshot kedua Hyuu
Tujuan Hyuu bikin fic ini karena Hyuu pengen buat Natsu dan Lucy punya hubungan khusus! x)
Dan juga karena Hyuu sebel, kok disini banyak fic NaLu yang dibikin mati sih? kan kasihan T^T
Hyuu masih newbie (di dunia per-Fairy Tail-an (?) dan per-fanfiction-an (?)), jadi mohon bantuannya senpai-senpai ya!
Mari kita ramaikan fandom Fairy Tail! x)))
Ok, langsung saja~
Selamat Menikmati! (emang makanan? -") xDD


Disclaimer : Fairy Tail bukan milik Hyuu, kalau milik Hyuu, dari awal Natsu bakal langsung fall in love sama Lucy!
Pemeran : Natsu, Lucy, Happy, Erza, dan Gray.
Genre : Niatnya romance, tapi kerasa nggak ya? =/
Warning : Super duper OOC
Summary : "Karenamu aku dapat menjalani hari-hari seperti ini. Kau sangat berharga bagiku.."
Arigatou

"Natsu, kau tak apa-apa?" Lucy memandang Natsu dengan tatapan bersalah.
"Aku tidak apa-apa, Luce. Kau sendiri?" Natsu duduk bersender pada tebing yang menjulang tinggi.
"Aku baik-baik saja karena kau telah melindungiku Natsu, terima kasih."
"Sekarang, bagaimana caranya kita bertiga dapat kembali keatas?" tanya Happy yang sempat terabaikan oleh Natsu dan Lucy.
Mereka bertiga memandang keatas tebing. Tebing itu sangat tinggi dan curam. Sangat susah dilompati ataupun dipanjat dengan tangan kosong. Satu-satunya cara adalah dengan...
"Terbang!" seru mereka bertiga bersamaan.
"Baiklah. Happy, bawa Luce bersamamu. Aku akan keatas dengan apiku," ujar Natsu sembari memukul tangannya yang saling tergenggam.
"Aye!"
Dengan segera Happy menggenggam kerah baju Lucy dan bersiap-siap terbang meninggalkan tempat itu.
"Eh?"
"Ada apa Natsu?" Lucy memandang Natsu yang tampak kaget.
"Natsu?" Happy melepas genggamannya dan terbang didepan muka Natsu.
"Sihirku.. Api-ku tidak keluar," jawab Natsu pelan.
"EH?"
"Kenapa?" Lucy berteriak, hampir histeris.
"Aku tak tahu.."
"Mungkin, karena Natsu telah mengeluarkan terlalu banyak energi tadi, sehingga Natsu sementara ini tidak bisa mengeluarkan api?" cetus Happy sedikit ragu akan perkataannya sendiri.
"Mungkin juga sih. Lalu, bagaimana sekarang?" tanya Lucy kembali.
"Luce, kau dan Happy segera kembali keatas, dan segera panggil Erza dan Gray, mungkin mereka dapat membantu," sahut Natsu.
"Lalu, bagaimana denganmu, Natsu?" tanya Lucy lagi.
"Aku akan berusaha memanjat tebing ini," ujar Natsu memutuskan.
Natsu berusaha berdiri, tetapi ia jatuh terduduk kembali. Ada apa?
"Sepertinya, kakimu terkilir Natsu! Dengan keadaan seperti ini, kau tidak bisa memanjat tebing itu. Ah, walaupun keadaanmu seperti biasa pun kau tak mungkin bisa memanjat tebing ini!" seru Lucy yang dengan terang-terangan tidak mengijinkan Natsu memanjat tebing itu.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Happy cemas.
"Tenang saja, Happy bawa Luce keatas seperti yang aku katakan tadi."
"Tidak! Lalu bagaimana denganmu Natsu?" Lucy jelas menolak ide itu.
"Seperti yang aku bilang Luce, Aku akan memanjat tebing ini. Tenang, aku pasti bisa memanjat tebing ini. Tidak seberapa tinggi kok," Natsu memamerkan cengiran khasnya.
"Tidak boleh!" teriak Lucy untuk kesekian kalinya.
"Lalu, kita harus bagaimana, Lu?" tanya Natsu meminta saran.
Lucy menggigit ibu jarinya, dahinya berkerut tanda ia tengah berpikir keras. Tiba-tiba Lucy menjentikkan jarinya.
"Happy, bawa Natsu keatas. Aku akan menunggu disini disaat kalian mencari Erza dan Gray," usul Lucy.
Happy memandang Natsu meminta persetujuan.
"Tidak, tidak!" seru Natsu dan Happy bersamaan.
"Kau itu wanita, Lu. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian disini. Bagaimanapun aku ini lelaki, jadi aku tidak boleh membiarkanmu. Jadi, sebaiknya kau keatas bersama Happy," perkataan Natsu membuat Lucy tersentuh.
"Memang sih. Tapi, tidak! Aku yang telah menyebabkan kita bertiga terjatuh disini. Jadi, seharusnya aku yang menerima akibatnya. Tapi malah kau, Natsu yang terluka. Kau yang harus keatas dengan Happy," jelas Lucy.
Happy memandang Natsu dan Lucy bergantian. Sedikit sebal karena sedari tadi merasa diabaikan oleh kedua temannya itu.
"Jadi, siapa yang seharusnya aku bawa keatas?" Happy memecah keheningan yang sempat tercipta.
"Luce," seru Natsu.
"Aku bilang tidak ya tidak!" Lucy tetap bersikukuh tidak akan menerima saran itu.
"Baiklah kalau begitu. Happy pergilah sendiri dan cepat temukan Erza dan Gray," Natsu menghela nafas, cengirannya kembali tertera diwajahnya.
"Aye!" Happy segera terbang meninggalkan tempat itu, menciptakan keheningan yang sedikit canggung.
"Nee, Natsu. Aku benar-benar minta maaf. Ini semua gara-gara aku. Karena aku bertindak ceroboh saat kau tengah melawan gorila jelek diatas tadi, aku malah terpeleset dan jatuh kesini. Tapi kau spontan melindungiku. Tapi karena itu, kau terluka. Aku benar-benar minta maaf, dan aku sangat berterima kasih kepadamu Natsu. Entah apa yang terjadi jika tak ada dirimu Natsu," perkataan Lucy memecahkan keheningan yang aneh itu.
"Hehe, kau serius sekali Lu! Tenang saja, aku akan selalu menjagamu Lu! Dan aku baik-baik saja, tidak usah cemas. Lihat," Natsu memamerkan otot lengannya yang yaah, cukup bagus juga untuk diperlihatkan. Dan lagi-lagi Natsu tersenyum lebar seperti tidak ada yang terjadi. Mungkin inilah kelebihan dari kebodohan dan kepolosan Natsu, sehingga dapat tersenyum disituasi apa saja. Lucy tersenyum kecil, pipinya nampak memerah, menambah manis dirinya walaupun tubuh Lucy sekarang kusut karena tadi ia sempat terguling ditanah. Tapi, sebagaimanapun keadaan Lucy, siapa sih yang tidak setuju jika Lucy sekarang tampak manis jika seperti itu?
"Lagipula, kita kan teman Luce. Jadi sudah seharusnya aku menolongmu kan jika kau dalam kesusahan? Hahaha,"
Oke, hati Lucy Heartfillia retak saat mendengarnya.
"Teman..? Hehehe," Lucy tertawa hambar.
"Iya, teman!" Natsu lagi-lagi tersenyum lebar.
Natsu, inilah akibat kebodohan dan kepolosanmu, kau jadi tidak peka! Oh tidak, hati Lucy sekarang sudah hancur berkeping-keping karena ucapanmu.
"Natsu, aku pikir-pikir kau itu adalah segalanya bagiku," secara langka, wajah Natsu nampak bersemburat merah. Hanya sedetik. "Awal kita bertemu, kau menolongku dari salamander palsu, walaupun aku tau kau pasti secara tak sadarmenolongku," Lucy tersenyum mengingat pertemuannya dengan Natsu saat di kota pelabuhan, Hargeon.
"Karenamu, aku dapat menjadi penyihir Fairy Tail. Karenamu, aku dapat mengenal teman-teman seperti Mira-chan, Lucy-chan, dan yang lainnya. Karenamu aku dapat menemukan arti keluarga yang sebenarnya. Karenamu rumahku menjadi kacau, tapi aku senang. Kau membuatku jengkel, senang, dan bahagia. Setiap tingkah lakumu dapat membuatku senang. Kau selalu membantuku. Kau selalu menolongku. Kau selalu ada untukku. Kau selalu... aku tak tahu lagi. Pokoknya, hari-hariku sangat berwarna karenamu. Karenamu aku dapat menjalani hari-hari seperti ini. Kau sangat berharga bagiku. Natsu."
Lucy tersenyum sangat manis pada Natsu. Lagi-lagi Natsu merona. Lucy tersenyum jahil.
"Arigatou, Natsu."
Lucy mengecup pipi sebelah kanan Natsu. Pipi Lucy nampak sedikit merona, dan Lucy menyadari hal itu. Natsu kaget akan perkataan dan kelakuan Lucy tadi. Natsu ingin menyampaikan sejuta pertanyaan, protes, dan kata-kata lainnya. Tapi sepertinya hal itu harus ditundanya dulu.
"Natsu! Lucy!" terdengar teriakan Erza dan Gray diatas.
Lucy mendongak menatap tepi tebing diatas. Nampak Happy yang tengah digendong Erza. Gray dengan cekatan segera membuat tangga dari sihir es miliknya. Erza, Happy, dan Gray segera berlari menuruni tangga menghampiri Natsu dan Lucy.
"Minna!" Lucy berlari memeluk Erza, beruntung Erza tak sedang memakai baju armor-nya. Tapi sungguh tak beruntung nasib Happy, ia tengah terjepit diantara tubuh Lucy dan Erza.
Gray menghampiri Natsu.
"Hahaha, masa jatuh kejurang saja kau tak bisa balik lagi Natsu? Kau sungguh lemah. Hahaha," Gray menyombongkan diri.
"Eh? Tumben kau tak membalas Natsu?" Gray memperdekat jaraknya dengan Natsu, dan Gray dapat melihat wajah Natsu yang merona memerah, sungguh memerah seperti kepiting rebus!
"EH? KAU KENAPA NATSU?"
Natsu tertunduk diam. Gray berusaha melihat wajah Natsu sekali lagi. Erza bingung, tanda tanya besar nampak diwajahnya. Happy pingsan. Lucy, tersenyum.
おわり

Bagaimana? Bagaimana? masih garing kah? Masih tidak terasa kah ?
Maaf ya, Natsu disini OOC banget *pundung*
Bagi yang telah membaca fic ini sampai selesai, Hyuu makasih! apalagi kalau mau kasih review juga :P
Ok, sampai jumpa di fic lainnya! x)))
REVIEW please?